Resensi Buku: Strategi bagi pihak yang Lemah
Oleh: Ahmed Qaoud, penerjemah: Idham Cholid
Vision Center for Political Development. Istanbul,, 19 Desember 2016
—-------------------------------------------------------------------------------------------
Judul : Strategi bagi pihak yang lemah “ إستراتيجية الضعف"
Penulis : Salahuddin Talib Jabr Al-Awawdeh
Disajikan oleh: Vision Center for Political Development. Istanbul
Penerbit : Dar Al Fath untuk Studi dan Penerbitan.
Tanggal terbit : Edisi pertama 2015
Jmlh halaman: 304 halaman
—-----------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah buku yang ditulis oleh Salahuddin Al-Awawdeh saat mendekam lebih dari delapan belas tahun di penjara penjajah. Dia meninggalkan kota Dura pada bulan April 1993 hingga kesepakatan Wafa Al-Ahrar 2011. Ditorehkan kata-katanya tatkala kelemahan menjelma dalam semua makna materi dan fisiknya kecuali kemauan dan tekad. Tidak ada tempat di sana untuk kelemahan dan kerapuhan karena, jika tidak, kehidupan menjadi mustahil dan harapan pun hilang.
Judul buku ini diambil dari rahim kenyataan yang dialaminya sebagaimana seluruh masyarakat Palestina mengalaminya, yang tidak punya alat kekuatan apa pun kecuali sebagai pemilik hak, kemauan baja, dan tekad untuk melawan musuh yang kekuatan material dan teknologinya terus tumbuh dari hari ke hari. Begitulah penulis ini menjelaskan pemilihan tema bukunya dan bagaimana karenanya orang yang lemah dapat melawan, dengan kelemahannya, kekuatan penjajah dan algojonya, hingga penulis menciptakan dari kelemahan tersebut sebuah teori dan falsafah yang dapat meraih kemenangan.
Buku ini terdiri dari delapan bab. Pada bab pertama, membahas fenomena perang sebagai fenomena sosial dengan determinan dan hukumnya sendiri, serta meninjau kembali perbedaan pendapat di antara para peneliti selama bertahun-tahun mengenai fenomena sosial, termasuk perang. Montesquieu, misalnya, percaya bahwa sejarah setiap bangsa tidak lain hanyalah hasil tak terelakkan dari hukum-hukum sosialnya, yang bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Sedangkan Kierkegaard percaya bahwa perang tidak lain hanyalah akumulasi kejadian-kejadian yang tidak disengaja yang tidak tunduk pada kajian ilmiah karena kejadian-kejadian tersebut tidak diatur oleh hukum-hukum dalam kemunculan, perkembangan, mekanisme pergerakan, dan penghilangannya, karena hukum-hukum ilmiah hanya berlaku untuk benda-benda mati.
Pandangan lain berpendapat bahwa penerapan ciri-ciri ilmu pengetahuan pada fenomena sosial bersifat relatif karena ilmu-ilmu tersebut diatur oleh kerangka kemauan sadar orang-orang yang berbeda satu dengan yang lain.
Pada bab kedua, penulis membahas perang dan revolusi dari segi konsep, pembagian, tahap, keadaan historis dan internasional. Ia mendefinisikan perang sebagai fenomena penggunaan kekerasan dan paksaan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan, memperluas pengaruh, menyelesaikan pertikaian kepentingan, atau menyelesaikan tuntutan yang saling bertentangan antara dua pihak. Sementara itu, ahli teori militer Prusia, Clausewitz, mendefinisikannya sebagai perluasan politik dengan cara lain dan sebagai tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa lawan agar tunduk pada keinginannya.
Clausewitz juga membagi perang menjadi tiga jenis:
Peperangan konvensional atau klasik, di mana digunakan senjata konvensional yang diketahui memiliki daya rusak yang relatif terbatas.
Perang nonkonvensional adalah penggunaan senjata nonkonvensional yang mempunyai daya rusak yang menyeluruh, seperti senjata nuklir, kimia, kuman atau biologi.
Perang gerilya, atau perang rakyat, lebih ringan daripada perang konvensional, dan biasanya terjadi antara dua pihak yang tidak seimbang, dan kekuatannya tidak teratur pada setidaknya satu pihak, dan didasarkan pada gerakan politik seperti gerakan pembebasan atau kelompok separatis, etnis, atau agama, dan dapat menjadi bagian dari perang konvensional sebagai salah satu taktik perang tersebut.
Penulis memberikan porsi lebih besar dalam tulisannya kepada perang gerilya; Mungkin karena sifat konflik dengan penjajah Israel, rakyat Palestina melakukan apa yang sangat mirip dengan gerilyawan dalam hal perlawanan bersenjata. Gerilya berurusan dengan taktik dan strategi, meninjau berbagai pengalaman sejarah di mana gerilya dipraktikkan dengan berbagai cara.
Adapun gerakan politik yang menganut gaya perjuangan gerilya, penulis menyebut dua macam, yaitu: Mereka adalah:
Gerakan yang berusaha mempengaruhi sistem politik dan sosial internal suatu negara tanpa bercita-cita mengubah pemerintahan, mengubah batas-batas politik, atau membebaskan negara dari penjajahan asing. Sebelum tahun sembilan puluhan abad lalu, gerakan-gerakan kiri dan komunis menjadi terkenal di bidang ini hingga gerakan-gerakan Islam muncul di dunia Arab dan Islam.
Gerakan dengan tujuan etnis, agama, atau separatis yang berupaya memisahkan diri dari negara yang ada dan mendirikan entitas politik baru, mengubah batas-batas politik yang ada, atau memperoleh kemerdekaan atau pemerintahan sendiri di dalam batas-batas negara itu sendiri. Contohnya termasuk gerakan perlawanan Palestina, Lebanon, dan Kashmir, serta beberapa gerakan dan partai Chechnya dan Kurdi.
Tahapan gerilya
Pemimpin Tiongkok Mao Zedong membagi perang gerilya menjadi tiga tahap pada tahun 1893:
Tahap pertama: Tahap penarikan diri strategis, yang merupakan akibat dari kelemahan gerilya selama tahap ini, karena mereka tidak bertemu musuh kecuali dalam misi taktis yang berbeda-beda di mana mereka memiliki keunggulan, dan target yang diserang kecil dan lemah, sehingga gerilya dapat mencapai keunggulan dan kemenangan di sana. Selain itu, musuh pada tahap ini sering kali berada di puncak kekuatannya, dan karena itu bukanlah kepentingan gerilya untuk membuka serangan komprehensif.
Tahap kedua: Tahap penentuan arah strategis, yang biasanya tidak berlangsung lama dan di mana konflik berubah menjadi perang konvensional.
Tahap ketiga: Tahap serangan strategis, yang terjadi setelah kekuatan gerilya tumbuh dan setelah ia menguras habis tenaga musuhnya, yang membuatnya merasa lebih percaya diri. Kemudian ia merasa dapat mencapai kemenangan yang menyeluruh dan menentukan. Di sini, ia meningkatkan intensitas serangannya dan ukuran pasukannya, dan ia dapat berubah menjadi pasukan reguler dengan komando pusat dan ruang operasi yang mengelola pertempuran di semua lini seperti pasukan reguler lainnya. Contohnya adalah revolusi komunis di Cina yang dipimpin Mao.
Bagaimana gerilya mencapai tujuannya?
Ada beberapa cara yang dilakukan gerilya untuk mencapai tujuannya.
Mencapai tahap serangan strategis dan keputusan/penentu militer, seperti yang terjadi dalam perang gerilya Cina.
Kemenangan adalah hasil dari situasi yang tidak ada jalan keluar, seperti Vietnam dan Lebanon Selatan (2006-pent).
Pertempuran skala kecil, seperti Kuba.
Gerilya menggigit-gigit dan meremukkan, sehingga kekuatan musuh secara bertahap digigit habis hingga ia terpaksa menyerah setelah akumulasi operasi yang tak sanggup ditanggung musuh, sehingga ia pun terjatuh dan pingsan. Jenis gerilya ini ditemukan dalam tulisan-tulisan revolusi Palestina dan tulisan-tulisan fedayeen Palestina.
Gerilya sebagai sebuah kasus, di sini gerilya tidak berharap untuk menang sendiri, tetapi justru berupaya melibatkan pihak lain bersamanya dalam pertempuran, seperti Fatah mengambil jalan ini pada awal perjuangannya.
Perang partisan (peperangan tidak teratur yang dilakukan oleh pasukan gerilya yang menentang kekuatan asing atau pendudukan. Istilah ini juga digunakan untuk menyebut gerakan perlawanan. -pent.), beginilah cara Soviet melawan penjajahan Nazi selama Perang Dunia II, saat pemerintah Soviet merasa tidak dapat mengalahkan Jerman dalam perang reguler konvensional, jadi mereka memilih perang gerilya dan membuka konfrontasi dengan menyerang konvoi pasokan dan garis belakang Jerman dengan unit-unit kecil yang tersebar.
Perang partisan adalah bagian dari tahap perang tradisional yang terjadi antara dua pasukan reguler. Ini terjadi pada Perang Dunia II di Uni Soviet dan Prancis, dan juga terjadi di Mesir pada perang tahun 1956.
Fondasi Perang Gerilya
Gerilya didasarkan pada prinsip-prinsip yang membuatnya berbeda dari peperangan tradisional, antara lain:
Prinsip penarikan diri strategis dan serangan taktis, yang memerlukan:
Ada tempat di mana gerilyawan dapat bersembunyi dari musuhnya.
Melindungi diri sendiri lebih penting daripada menyerang musuh.
Tidak memusatkan kekuatan di satu tempat.
Kemampuan untuk bergerak secara efektif.
Prinsip atrisi (membuat musuh kelelahan), bukan ketegasan.
Kemandirian: Semakin mandiri gerilyawan dalam hal pendanaan dan persenjataan, semakin independen pula mereka dalam pengambilan keputusan, dan ini membantunya mencapai tujuannya sebelum mencapai tujuan pendukungnya.
Stamina menahan dan menyerap pukulan.
Hubungan yang kuat antara dirinya dengan masyarakat.
Tidak membutuhkan/ bergantung pada persenjataan berat.
Moralitas menjadi senjata strategis yang terpenting.
Keyakinan dan ideologi.
Intelijen yang baik dan kuat dan reportase atau media massa.
Beberapa Pengalaman Perang Gerilya
Pengalaman Kuba
Revolusi Kuba dimulai pada 12/2/1956 ketika kelompok revolusioner pertama memulai kerjanya yang dipimpin oleh Fidel Castro, dan berlanjut hingga Jenderal Batista melarikan diri ke Amerika Serikat pada tahun 1958, dua tahun setelah pecahnya revolusi, dan para revolusioner yang dipimpin oleh Castro memasuki ibu kota Kuba, Havana, pada 1/2/1959.
Penyebab terjadinya revolusi tersebut adalah kediktatoran rezim penguasa yang dipimpin oleh Batista, yang didukung oleh Amerika, serta situasi ekonomi yang buruk, yang menimbulkan kebencian rakyat terhadap rezim penguasa. Kondisi ini mendorong pengacara muda Fidel Castro untuk menggalang sekelompok pemuda di sekelilingnya, yang diperkirakan berjumlah seratus lima puluh orang muda, dan revolusi mereka dimulai dengan serangan terhadap depot senjata pada 26/7/1953.
Gerilyawan Kuba adalah model dan aliran pembelajaran yang sama sekali berbeda dari aliran Tiongkok karena perbedaan kondisi lokal dan lingkungan geografis. Di Kuba, petani lebih dipengaruhi oleh operasi gerilya daripada oleh pidato dan agitasi, tidak seperti kasus Tiongkok, di mana kesadaran revolusioner mendahului dimulainya pertempuran. Dalam kasus Tiongkok, sebuah partai politik dan kesadaran revolusioner terbentuk sebelum dimulainya revolusi, sementara di Kuba, partai politik dan kesadaran revolusioner tumbuh dari rahim revolusi itu sendiri, dan para pejuang revolusi kemudian menjadi pemimpin partai.
Hal baru yang dapat diambil dari model Kuba adalah bahwa sekelompok kecil pejuang yang berdedikasi dapat memicu revolusi tanpa adanya kesadaran revolusioner di antara massa, sehingga tiga tahap yang dibicarakan Mao Zedong tidak mengikat bagi orang Kuba.
Ernesto Guevara (1928-1967)
Seorang dokter Argentina yang percaya pada gagasan kekerasan revolusioner dan kebutuhannya dalam perjalanan sejarah masyarakat dan individu. Guevara menganggap dirinya mewakili posisi internasional yang menentang imperialisme kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan menyerukan revolusi melawannya di mana-mana. Ia menyampaikan pidatonya di Konferensi Trikontinental Gerakan Pembebasan Nasional di Havana pada tahun 1966, dengan mengatakan, "Kalian harus menyadari bahwa kalian sedang berperang melawan musuh yang sama." Ia percaya bahwa negara-negara Amerika Latin adalah agen imperialisme Amerika dan karena itu revolusi harus melanda negara-negara itu.
Teorinya berbeda dengan kaum komunis yang percaya pada kemungkinan meraih kekuasaan dan menerapkan sosialisme melalui pemilihan umum seperti partai-partai komunis di Eropa. Karena Guevaraisme adalah berarti revolusi kekerasan.
Vietnam
Vietnam berbeda dari China dan Kuba dalam banyak hal; Yang terpenting dari semua ini adalah bahwa gerilyawan Vietnam beroperasi melawan penjajah asing, bukan melawan pemerintah setempat. Para gerilyawan tidak menguasai wilayah tertentu untuk beroperasi, seperti yang terjadi di Cina, dan para pejuang tidak bersembunyi di tengah penduduk, seperti yang dilakukan gerilyawan Kuba.
Sisi bagus dan rangkuman dari perang gerilya Vietnam adalah bahwa gerilya - sebagai sebuah teori - mampu beradaptasi dengan cara yang sesuai dengan keadaan objektif setiap negara, dan inilah rahasia penyebarannya di banyak bagian dunia sepanjang abad kedua puluh. Setiap kali muncul dalam bentuk baru meskipun tetap mempertahankan prinsip-prinsip umumnya seperti penarikan diri strategis, serangan taktis, dan atrisi (membuat musuh kelelahan), bukan ketegasan.
Perlu dicatat di sini bahwa organisasi-organisasi Zionis mengadopsi metode gerilya untuk mencapai tujuan mereka dalam mengendalikan Palestina sebagai persiapan bagi kepergian penjajah Inggris, dengan asumsi bahwa mereka adalah pihak yang lemah di hadapan orang-orang Arab dan Muslim. Aktivitas gerilya Zionis tercermin dalam penanaman bom waktu di pasar-pasar dan warung-warung kopi Palestina pada tahun tiga puluhan dan empat puluhan abad lalu. Mereka juga mengarahkan operasi mereka terhadap Inggris ketika mereka membunuh menteri Lord Morin, dan membunuh Count Bernadotte karena penentangannya terhadap pencaplokan Negev ke negara Yahudi berdasarkan resolusi pemisahan tahun 1947.
Pengalaman Tiongkok
Pada bab keempat, penulis membahas beberapa pengalaman historis para gerilyawan, terutama pengalaman Tiongkok (1911-1949), yang diprakarsai oleh milisi Richos Harmony Band dengan kampanye pembunuhan yang menargetkan orang asing di sebagian besar wilayah Tiongkok ketika mereka mendeklarasikan perjuangan bersenjata melawan kekuatan asing, termasuk Inggris dan Jepang. Akibatnya, Inggris dan Jepang menyerbu Tiongkok dan menduduki Beijing, dan Rusia menduduki Manchuria. Setelah itu, pemogokan terbuka dideklarasikan dan revolusi Tiongkok pecah, yang berakhir dengan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Ini diikuti oleh penghapusan kekaisaran dan pembentukan republik pada tahun 1911, kemudian pembagian Tiongkok menjadi provinsi dan negara-negara kecil dan pembentukan konstitusi untuk negara tersebut pada tahun 1921.
Pada tahun 1925, Tiongkok terbagi antara sekutu Inggris, yang dipimpin Perdana Menteri Chiang Kai-shek, dan sekutu Uni Soviet, yang menyebabkan perang saudara antara para penguasa negara pada tahun 1927.
Salah satu taktik yang membuatnya terkenal dalam perang adalah metode darat versus waktu; Maksudnya adalah memancing musuh hingga ke kedalaman, yakni ketika musuh maju, anda mundur, ketika ia berkemah, anda mengganggunya, dan ketika ia mundur, anda menyerangnya.
Salah satu kutipannya yang terkenal: Revolusi bukanlah makan malam. Revolusi tidak bisa dilakukan dengan tenang, moderat, murah hati, atau sopan. Revolusi tidak bisa dilakukan dengan diam-diam, romantis, dengan dada lapang dan pengendalian diri, karena revolusi adalah pemberontakan yang tiba-tiba dalam kurun waktu yang sangat terbatas.
Di antara karya-karyanya: (Masalah-masalah Strategis Perang Revolusi di Tiongkok), (Tentang Perang Jangka Panjang), (Masalah-masalah Strategis Perang Partisan Melawan Jepang).
Gaza
Penulis merujuk pada gerilyawan Arab, seperti Revolusi 1820 di Irak dan Revolusi Aljazair ketika Perancis menginvasi Aljazair pada tahun 1830. Serta pengalaman perlawanan di Gaza, yang penulis anggap sebagai pengalaman unik karena keadaan yang tidak mungkin dihadapi oleh gerilyawan yang beroperasi di sana dimana mereka mempertahankan doktrin tempur, moral tinggi para pejuangnya, kesabaran tanpa batas, daya tahan, dan kesadaran keamanan.
Penulis meyakini bahwa perlawanan Palestina di Gaza menganut prinsip penarikan diri strategis dan serangan taktis. Semua kekuatannya bersembunyi dari permukaan bumi ke dalam parit dan terowongan, sehingga musuh yaitu Israel tidak menemukan apa pun untuk dibom kecuali lokasi pelatihan yang sudah ditinggalkan dan target warga sipil, termasuk sekolah, rumah sakit, dan kru ambulans.
Gerilyawan Palestina memanfaatkan medan berpasir di Gaza untuk mencari tempat bersembunyi, dan mengadopsi prinsip "melindungi diri sendiri lebih penting daripada menyerang musuh." Mereka tidak memusatkan pasukannya di satu tempat, dan mempertahankan kemampuannya untuk bergerak secara efektif dan menyerang musuh di banyak lokasi dengan serangan taktis yang membuatnya meraih keunggulan yang jelas meskipun musuh sangat berhati-hati dan berpengalaman dalam perang gerilya. Mereka juga berkomitmen untuk tidak ingin memutuskan pertempuran dengan musuh dan merasa cukup dengan membikin lelah musuh melalui bentrokan yang tersebar.
Para gerilyawan di Gaza mengandalkan diri mereka sendiri; memproduksi rudal, peluru kendali, dan bom serta tidak lagi bergantung kepada senjata berat. Di sisi intelijen, musuh jelas gagal meskipun beberapa kali berhasil membunuh sejumlah pemimpin politik dan militer. Namun, keberhasilan gerilya di Gaza yang paling menonjol adalah di tingkat keamanan, karena berhasil menangkap tentara penjajah dan menahan mereka dalam waktu lama meskipun situasi keamanan di Gaza sulit.(KHO)

0 komentar:
Posting Komentar