Youtube Channel

About

Selamat datang di Blog Analis Palestina yang mengkhususkan diri pada opini, penerjemahan informasi dan analisa terkini terkait perkembangan yang terjadi di Palestina dan sekitarnya. Email: khalidmusholla@gmail.com
Tampilkan postingan dengan label Rafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rafah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Maret 2024

Rafah dan Serangan Terhadap Sistem Distribusi Bantuan Kemanusiaan

Oleh Mahmoud Al-Rantisi


Tidak ada yang menyangka bahwa pada akhir tahun 2023, Rafah akan menerima lebih dari 1.500.000 pengungsi dari kota-kota lain di Jalur Gaza. Akibat pemboman biadab yang dilakukan tentara penjajah Israel terhadap tempat tinggal, rumah sakit, dan infrastruktur di seluruh kota-kota Jalur Gaza.


Pada tahun 2003, saya mengikuti kuliah di Fakultas Teknik Universitas Islam Gaza tentang rekayasa jaringan air di Jalur Gaza. Tugas saya adalah memprediksi jumlah penduduk masa depan kota Rafah pasca 20 tahun, berdasarkan mana jaringan air virtual akan dirancang. Saat itu, populasi Rafah sekitar 150 ribu orang, dan meskipun terdapat perbedaan prediksi di kalangan mahasiswa tentang jumlah populasi di masa depan; Karena ada lebih dari satu metode, sehingga jumlahnya berkisar antara 200.000 dan 300.000. Meskipun perhitungan semacam ini memiliki beberapa catatan terhadap jumlah imigrasi dan pengungsian, selain tingkat pertambahan populasi alami. Skenario kehadiran satu juta 500 ribu warga Palestina di Rafah tidak pernah terfikir dalam benak siapapun.


Pada awal agresi, melalui pembantaian terhadap warga sipil dan mengizinkan hanya sedikit saja bantuan yang bisa lolos ke selatan Jalur Gaza dengan janji-janji palsu tentang adanya tempat-tempat yang aman, penjajah mencoba mendorong warga masyarakat menuju Rafah. Untuk kemudian melaksanakan rencana pengungsian, yang mengalami kegagalan karena berbagai alasan, yang terpenting dikarenakan penolakan rakyat Palestina untuk dicerabut dari akarnya, meskipun telah menyaksikan banyak kematian dan kelaparan. Oleh karena itu, penjajah, yang tampaknya bingung mengenai masa depan Gaza pasca agresi, terpaksa mengambil tindakan dengan menyasar seluruh eksistensi kedaulatan dan elemen-elemen eksistensi pemerintahan lokal di Jalur Gaza, khususnya di tempat yang memiliki jumlah penduduk terbesar, yaitu provinsi Rafah.


Tekanan Demografis


Kota Rafah terletak di ujung selatan Jalur Gaza, berbatasan dengan Mesir, dan berjarak 35 kilometer dari pusat Kota Gaza. Luas Rafah sekitar 63 kilometer persegi, sekitar 20% dari luas Jalur Gaza.  Kepadatan populasi Rafah, sebelum agresi Israel baru-baru ini, dianggap salah satu yang tertinggi di dunia. Dulunya sekitar 5.000 orang per kilometer persegi, dan kini meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah warga Palestina di dalamnya mencapai satu setengah juta, sehingga menjadi 27 ribu orang per kilometer persegi.


Mengingat bahwa ada banyak lokasi yang berdekatan dengan perbatasan timur Rafah yang dikuasai Israel, dan adanya banyak lokasi di mana para pengungsi tidak boleh ada di sana,   maka populasi terkonsentrasi di dalam sekitar 30 kilometer persegi Rafah, dan dengan demikian hal ini meningkatkan kepadatan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 50 ribu orang per kilometer persegi, yang merupakan angka tertinggi di dunia, ditambah persentase yang mendekatinya, seperti persentase pengungsi Rohingya di kamp pengungsian di Bangladesh pada tahun 2017 yang mencapai 40 ribu orang per kilometer persegi, tapi mereka tidak berada dalam kondisi perang dan pengepungan, seperti yang terjadi di Rafah saat ini.


Jalur Gaza dianggap sebagai salah satu wilayah geografis yang paling padat penduduknya di dunia sebelum agresi, dan sekarang kepadatan ini meningkat sepuluh kali lipat, kita berbicara tentang situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang akan melumpuhkan kerja aparat administrasi atau pemerintahan, bahkan jika dalam keadaan tidak terjadi pengeboman dan situasi keamanan serius, disebabkan agresi, pengepungan dan kelaparan.


Berbagai kota di dunia telah menyaksikan kurangnya keamanan dan merebaknya kekerasan, seperti Kinshasa dan Rio de Janeiro. Kota-kota itu gagal menyediakan layanan karena peningkatan populasi, tanpa adanya perang genosida atau pengepungan. Jadi bagaimana jika faktor-faktor itu ditambahkan? Sebagai contoh, kami dapat menunjukkan di sini bahwa jumlah pegawai di kota Rafah hanya 200 orang, yang memberikan layanan kepada satu setengah juta pengungsi.


Namun, kelompok di Rafah juga menunjukkan ketabahan, kesabaran dan daya tahan yang belum pernah terjadi sebelumnya meskipun ada tekanan demografi. Banyak mekanisme juga diusulkan untuk mengendalikan situasi keamanan, kesehatan dan ekonomi, mendistribusikan bantuan kemanusiaan secara adil, dan mengelola pusat-pusat penampungan serta tim emergency dan kebersihan. 


Sejak awal agresi, Pemerintah Kota Rafah telah melaksanakan ribuan tugas untuk menyelamatkan dan mengevakuasi korban luka, menguburkan para syuhada, membuka kembali jalan-jalan, membersihkan puing-puing, dan mengatur pusat-pusat pengungsian. Institusi keamanan dan ekonomi juga telah bekerja mengatur situasi, sebagaimana polisi  telah mengamankan truk-truk bantuan dan menghadapi kekacauan dan kejahatan.


Kekacauan Yang Diciptakan Terhadap Distribusi Bantuan


Telah diketahui bahwa pemerintah Israel telah menggunakan ancaman invasi darat ke Rafah. Untuk memberikan tekanan pada proses perundingan kesepakatan gencatan senjata yang komprehensif, setidaknya untuk saat ini, dan bahkan dengan mempertimbangkan skenario operasi darat, ada jalur paralel berbahaya yang akan dilakukan oleh Israel yang bergantung pada pembentukan kondisi kacau di Rafah dengan menyasar seluruh elemen stabilitas, ketertiban, dan semua eksistensi berdaulat. 


Awalnya, pemerintah Israel hanya mengizinkan truk makanan dan bahan bantuan dalam jumlah terbatas untuk masuk melalui gerbang perbatasan Rafah. Truk-truk ini bahkan tidak memenuhi kebutuhan minimum banyak orang yang berkumpul di kota Rafah. Menurut Wali Kota Rafah, jumlah bantuan yang masuk hanya mencukupi sekitar 10% warga masyarakat.


Oleh karena itu, melalui jumlah bantuan yang terbatas dan diperhitungkan ini, pemerintah Penjajah ingin menciptakan perpecahan antara masyarakat dan kelompok perlawanan dengan memberikan tekanan pada dukungan rakyat, sehubungan dengan kebutuhan dasar.


Selain itu, pendistribusian bantuan yang terbatas ini tidak akan menjangkau seluruh penduduk, dan penjajah mengandalkan ini untuk menimbulkan ketidakpuasan dan membuka jalan bagi kekacauan dan mengendalikan bantuan dengan kekerasan. Inilah yang terjadi dalam kondisi yang dibatasi, ditangani oleh polisi di Rafah, yang tetap melanjutkan pekerjaan mereka meskipun ada bahaya besar yang mengancamnya, dimana polisi bekerja melindungi barisan perlawanan, menjaga Front Dalam Negeri, menghadapi perselisihan keamanan dan ekonomi, memerangi kejahatan, mengejar tersangka, mengamankan truk bantuan, mengayomi proses distribusi dengan cara yang tepat, dan menetapkan harga jual.


Polisi dan Komite-komite Bantuan Dibidik


Untuk menyukseskan skenario kekacauan, kesemrawutan keamanan, dan gangguan keamanan dalam negeri, Penjajah Israel berupaya membidik polisi sipil di kota Rafah. Puluhan komandan dan anggota polisi pemerintah di Gaza telah gugur sebagai syuhada di kota  Rafah, dengan cara diserang mobil pribadi atau mobil dinasnya, saat sedang menjalankan misi mengamankan bantuan kemanusiaan.


Kehadiran polisi di Rafah merupakan semacam kontrol administratif pemerintahan Gaza, hal yang sangat membuat resah pemerintah Penjajah Israel, dan menunjukkan kegagalan rencananya terkait dengan tujuan perang atau yang disebut dengan “Hari Esok.”


Mengingat pentingnya menjaga situasi keamanan, muncul bentuk baru yang membantu muncul sehubungan dengan polisi yang dibidik secara sistematis, yaitu Komite Perlindungan Rakyat, yaitu komite terorganisir yang hadir di pasar, mengatur antrian panjang di depan toko roti, pertokoan, dan bank, serta mencegah pedagang memanfaatkan situasi dan meninggikan harga. Mungkin tujuan yang paling penting dan komprehensif adalah mencegah tercapainya tujuan Penjajah untuk menyebarkan kekacauan di antara populasi masyarakat yang besar ini.


Jelas sudah bahwa rencana Penjajah menyerang situasi keamanan dan kedaulatan di Gaza akan gagal, apalagi jika kita memperhitungkan bahwa setelah semua kehancuran di wilayah Jalur Gaza utara, situasi keamanan dan kepolisian kembali mengendalikan situasi pasca penarikan diri pasukan Penjajah. Mereka jelas telah sukses mengamankan bantuan di Jalur Gaza bagian utara beberapa hari yang lalu, dan karena alasan ini Penjajah kembali membidik sejumlah kader kepolisian dan keamanan  yang jelas menggambarkan kebijakan yang difollow up oleh Penjajah.


Pembunuhan Faiq Al- #Mabhouh – Direktur Polisi Gaza dan bertanggung jawab untuk berkoordinasi dengan suku-suku dan UNRWA untuk mengamankan bantuan di Gaza – merupakan perpanjangan dari serangkaian langkah Israel untuk membidik elemen kedaulatan Hamas di Jalur Gaza.


Dalam dimensi lain, tindakan ini bertujuan untuk menghancurkan segala manifestasi kendali pemerintahan dan administratif. Selain polisi yang bertanggung jawab atas keamanan, penjajah terus membidik masyarakat dan lembaga-lembaga lokal yang bertanggung jawab mengatur situasi bantuan kemanusiaan dan urusan terkait bantuan. Bahkan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi (UNRWA) juga tidak luput dari serangan, bahkan menjadi incaran utama.  Karena tujuan penjajah melalui penyerangan ini adalah untuk melenyapkan struktur administratif terorganisir yang dapat mengatur situasi di Palestina dengan cara yang tidak sesuai dengan agendanya. Penjajah hingga kini telah menewaskan lebih dari 130 orang yang bekerja di bidang bantuan dan kemanusiaan.


Dalam konteks ini, pada 13 Maret 2024, pasukan penjajah telah menyerang pusat distribusi makanan PBB di kota Rafah, menewaskan 4 orang, termasuk dua pegawai UNRWA dan mereka yang bertanggung jawab atas komite darurat dan melayani masyarakat di kota Rafah.


Front Dalam Negeri


Negara Penjajah menyadari sulitnya melenyapkan aparat militer gerakan Hamas, dan oleh karena itu mereka melakukan balas dendam kepada pengayom rakyat yang mendukung perlawanan. Kemudian tidak cukup hanya membunuh lebih dari 31 ribu warga Palestina, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, namun mereka masih berupaya untuk membongkar segala bentuk kedaulatan, pemerintahan, dan stabilitas, serta struktur administratif apa pun yang berupaya menjaga keamanan dan mengelola kondisi bantuan kemanusiaan. Mereka berasumsi ini akan berhasil dalam membuka jalan bagi visi masa depannya bagi Jalur Gaza, itulah sebabnya mereka akan tetap fokus menyebarkan kekacauan di Rafah. Hal ini memerlukan perhatian penuh terhadap semua rencananya, dan fleksibilitas dalam mengembangkan cara-cara untuk menghadapinya.


Perilaku yang berupaya menghancurkan seluruh komponen pemerintahan dan administrasi di Gaza ini selalu merupakan bagian dari strategi Israel yang didasarkan pada tidak mengakui keberadaan rakyat Palestina, dan tidak mau mengakui keberadaan elemen eksistensi yang ada. 


Oleh karena itu, kecil kemungkinan negara penjajah akan mundur dari kebijakan menghancurkan komponen-komponen entitas Palestina, meskipun sejauh ini belum membuahkan hasil. Namun, pada tingkat yang sama, Palestina akan selalu mampu mengembangkan bentuk-bentuk baru yang dapat menjaga prioritas kebangsaan, dan mempertahankan bentuk administrasi nasional meskipun menghadapi jenis genosida yang paling buruk di zaman ini. 


(Diterbitkan Aljazeera 25 Maret 2024 update jam 08:41 Waktu Mekah, Referensi: https://bit.ly/3vxUbCD diterjemahkan oleh #Khalidmu)


Share:

Jumat, 01 Maret 2024

Hanya Demi Pembantaian, Perang Netanyahu Di Rafah Bukan Untuk Kemenangan

Oleh Ramzy Baroud*

Kota #Rafah di Palestina tidak hanya lebih tua dari negara Penjajah-Z, namun juga setua peradaban itu sendiri. Rafah telah ada selama ribuan tahun. Orang Kanaan menyebutnya sebagai Rafia, dan Rafia hampir selalu ada di sana, menjaga perbatasan selatan Palestina, baik di zaman kuno maupun modern.

Sebagai pintu gerbang antara dua benua dan dua dunia, Rafah telah berada di garis depan dalam banyak perang dan invasi asing, mulai dari Mesir kuno hingga Romawi, hingga Napoleon dan pasukannya yang akhirnya dikalahkan. Kini giliran Benyamin Netanyahu.

Perdana Menteri Penjajah-Z telah menjadikan Rafah sebagai permata mahkota aibnya, pertempuran yang akan menentukan nasib perang genosida di Gaza; sebenarnya, adalah masa depan negaranya. “Mereka yang ingin mencegah kami melakukan operasi di Rafah pada dasarnya mengatakan kepada kami: ‘Kalah perang’,” katanya pada konferensi pers pada 17 Februari.

Saat ini terdapat 1,3 hingga 1,5 juta warga Palestina di Rafah, sebuah wilayah yang berpenduduk 200.000 orang sebelum perang dimulai. Meski begitu, tempat itu dianggap ramai. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana situasinya saat ini, dengan ratusan ribu orang tersebar di kamp-kamp pengungsi yang berlumpur, bertahan hidup di tenda-tenda darurat yang tidak mampu menahan cuaca musim dingin yang keras. Walikota Rafah mengatakan bahwa hanya 10 persen dari kebutuhan makanan dan air yang sampai ke masyarakat di kamp-kamp, dimana mereka menderita kelaparan ekstrem, jika bukan kelaparan total.

Mereka telah kehilangan orang-orang tercinta dan rumah, serta tidak mempunyai akses terhadap perawatan medis. Mereka terjebak di antara tembok tinggi, laut, dan tentara pembunuh.

Invasi Penjajah-Z ke Rafah tidak akan mengubah medan perang demi kepentingan tentara penjajah, namun itu akan berdampak buruk bagi pengungsi Palestina. Pembantaian ini akan melampaui apa pun dan segalanya yang telah kita lihat sejauh ini di mana pun di Gaza.

Kemana 1,5 juta orang akan pergi ketika tank Penjajah-Z datang ? Daerah terdekat yang dianggap aman adalah Al-Mawasi, yang sudah penuh sesak. Pengungsi yang mengungsi di sana juga menderita kelaparan akibat pemblokiran bantuan oleh Penjajah-Z dan pemboman terus-menerus terhadap konvoi kemanusiaan.

Lalu ada Gaza utara yang sebagian besar berbentuk puing reruntuhan. Negara ini tidak mempunyai makanan sehingga, di beberapa daerah, bahkan pakan ternak, yang sekarang jadi makanan manusia di sana, tidak lagi dapat diperoleh.

Jika komunitas internasional pada akhirnya tidak mempunyai keinginan untuk menghentikan Penjajah-Z, kejahatan mengerikan ini akan terbukti jauh lebih buruk daripada semua kejahatan yang telah dilakukan oleh pasukan penjajah. Diperkirakan lebih dari 100.000 warga Palestina yang akan terbunuh atau terluka hanya di Rafah saja.

Namun, invasi ke Rafah tidak menjanjikan kemenangan militer maupun kemenangan strategis bagi Penjajah-Z, melainkan hanya pembantaian. Netanyahu hanya ingin memuaskan  dahaga haus darahnya di seluruh negara jajahan. Meskipun angkatan bersenjata mereka telah membunuh 30.000 warga Palestina sejauh ini, dan melukai 70.000 lainnya, Penjajah-Z  masih menginginkan balas dendam yang lebih besar. “Saya pribadi bangga dengan puing reruntuhan Gaza,” kata Menteri Kesetaraan Sosial Penjajah-Z May Golan dalam sidang Knesset pada 21 Februari.

Pada awal perang, Penjajah-Z mengklaim bahwa Hamas sebagian besar terkonsentrasi di utara Gaza. Bagian utara telah dihancurkan, namun Perlawanan terus berlanjut. Kemudian Penajajah-Z mengklaim bahwa markas Perlawanan berada di bawah Rumah Sakit Syifa, yang dibom, digerebek dan dihancurkan. Kemudian mereka mengklaim bahwa Bureij, Maghazi dan Gaza tengah adalah hadiah utama perang tersebut. Kemudian, Khan Younis dinyatakan sebagai “ibu kota Hamas”. Dan hal ini terus berlanjut… Perlawanan masih belum terkalahkan, dan apa yang disebut sebagai “ibukota Hamas” telah berpindah dengan mudah dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu perkampungan ke perkampungan lainnya.

Kini, klaim konyol dan tuduhan tidak berdasar yang sama juga dilontarkan mengenai Rafah, tempat sebagian besar warga  Gaza diperintahkan untuk mereka datangi oleh Penjajah-Z, dalam keputusasaan total, jika mereka ingin selamat dari serangan gencar tersebut. Penjajah-Z berharap warga Palestina akan segera meninggalkan Gaza yang jumlahnya ratusan ribu  dan pergi ke Gurun Sinai. Mereka tidak melakukannya. Kemudian para pemimpin Penjajah-Z, seperti Menteri Keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich, menyebut “migrasi sukarela” sebagai “solusi kemanusiaan yang tepat”. Meski begitu, warga Palestina tetap bertahan. Kini,  Penjajah-Z telah menyetujui invasi ke Rafah; ini hanya masalah waktu, sebagai upaya terakhir untuk mengatur kembali Nakba Palestina.

Tapi Nakba lain lagi tidak akan terjadi. Rakyat Palestina tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Pada akhirnya, kegilaan politik Netanyahu dan Penjajah-Z  harus diakhiri. Terlebih lagi, dunia tidak bisa terus menerus bersikap pengecut. Kehidupan jutaan warga Palestina bergantung pada dorongan kolektif kita untuk segera menghentikan genosida ini.

* Ramzy Baroud adalah seorang jurnalis dan Editor Palestine Chronicle. Dia adalah penulis lima buku. Karya terbarunya adalah ‘Rantai Ini Akan Diputus: Kisah Perjuangan dan Pembangkangan Orang Palestina di Penjara Penjajah-Z’. Baroud adalah Peneliti Senior non-residen di Center for Islam and Global Affairs (CIGA) dan juga di Afro-Middle East Center (AMEC).

(Diterjemahkan oleh Khalidmu - https://englisc-trans.blogspot.com/2024/03/hanya-demi-pembantaian-perang-netanyahu.html - Sumber: www.english.palinfo.com, terbit: Selasa 27-Februari-2024)


Share: