Youtube Channel

About

Selamat datang di Blog Analis Palestina yang mengkhususkan diri pada opini, penerjemahan informasi dan analisa terkini terkait perkembangan yang terjadi di Palestina dan sekitarnya. Email: khalidmusholla@gmail.com
Tampilkan postingan dengan label Tofan Al-Aqsa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tofan Al-Aqsa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Februari 2025

Perang di Gaza dan Dampaknya Terhadap Israel

Oleh: Syafiq Syakir, penerjemah: Idham Cholid


Pendahuluan


Peristiwa pada 7 Oktober 2023 mengantarkan ketakutan Israel tentang keamanannya dan masa depan eksistensinya di kawasan ke puncaknya. Ketakutan-ketakutan ini, dengan berbagai perkembangan yang terjadi di dalam dan di sekelilingnya selama beberapa tahun terakhir, telah berubah menjadi “ancaman-ancaman eksistensial” yang telah membingkai wacana dan orientasinya serta mempengaruhi kebijakan dan hubungan luar negerinya. 


Di antara kekhawatiran yang paling menonjol yang terungkap dan diperkuat oleh Operasi “Tofan Al Aqsa” adalah kemampuan infrastruktur militer, industri, intelijen, dan operasional yang kini dimiliki oleh perlawanan Palestina, terutama dengan perkembangan hubungannya dengan Iran, yang merupakan aspek lain dari ancaman strategis ini. 


Pada tingkat internal, Israel tengah menyaksikan perpecahan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang diperburuk oleh perang di Gaza, yang telah menjadi lebih dalam dan lebih luas, baik di tingkat politik maupun agama. Sedangkan di bidang militer, tentara penjajah menderita kerugian besar, gagal mencapai sasaran yang dicanangkannya, dan kekuatan pencegah yang telah dibangunnya selama puluhan tahun runtuh. 


Secara eksternal, narasi Israel menjadi diragukan hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari citra sebagai korban mulai berubah menjadi agresor, terutama setelah kasus yang dibawa oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. Dengan semakin meningkatnya perbedaan antara para pemimpin Israel dan semakin banyak politisi Barat, termasuk di Amerika Serikat, dukungan Barat yang tanpa syarat terhadap Israel dipertanyakan.



Perlawanan Palestina dan ekspansi Iran


Kebijakan Israel, terutama di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, didasarkan pada isolasi Gaza dari Tepi Barat dan memperkuat pemisahan di antara keduanya, sambil berfokus pada Tepi Barat untuk menaklukkannya, mencaplok tanahnya, dan membatalkan solusi dua negara. Kebijakan ini tampaknya lebih sejalan dengan aliran Zionis dan agama sayap kanan, tren yang mendominasi pemerintahan terakhir Netanyahu, yang digambarkan sebagai pemerintahan paling ekstremis dalam sejarah Israel. 


Sejak tahun 2007, Gaza yang terus dikepung telah menyaksikan serangkaian konfrontasi yang berakhir dengan intervensi mediator dan kemudian dengan ketenangan yang berakhir dengan gencatan senjata, sementara Tepi Barat menyaksikan peningkatan penindasan oleh dinas keamanan Israel untuk melenyapkan kelompok perlawanan baru, seperti Batalyon Jenin, ‘Arin-al-usud’ atau Lions’ Den, Batalyon Balata, dan lainnya. Kebijakan ini bertujuan untuk mempertahankan stagnasi situasi di kawasan dan mengganggu segala upaya untuk mencapai perdamaian, dan juga berusaha menjaga situasi Palestina tetap seperti sekarang, terpecah dan lemah.


Setelah mengumumkan apa yang disebut sebagai Kesepakatan Abad Ini, Israel berupaya memperluas jangkauan geografisnya di tanah bersejarah Palestina dengan mengintensifkan pemukiman dan menindas warga Palestina, dan memperluas jangkauan geopolitiknya di kawasan itu dengan menetapkan batas-batas wilayahnya dengan negara-negara tetangga Arabnya, seperti yang terjadi dengan Lebanon terkait batas-batas atau demarkasi laut dan upayanya untuk menetapkan batas-batas wilayah darat juga. Secara paralel, ia berupaya memperluas cakupan normalisasi dengan negara-negara Arab dan memisahkan jalur ini dari proses perdamaian dan masalah Palestina serta hak-haknya.


Pada tataran keamanan regionalnya, Israel menganggap Iran sebagai ancaman utama, karena program nuklirnya yang maju, di samping dukungan militernya terhadap perlawanan Palestina di Gaza. Selain itu, pengaruh Iran telah meluas di kawasan tersebut, mencapai perbatasan utaranya. Pengaruh yang semakin besar ini dilihat oleh Israel sebagai bahaya yang melampaui keamanannya sendiri, dan mengancam keamanan negara-negara tetangga Arabnya, yang memiliki hubungan dengannya untuk menghadapinya melalui “kepentingan bersama.” 


Negara ini telah mengumpulkan wacana keamanan dan politiknya untuk mempromosikan proses normalisasi dalam konteks "Perjanjian Abraham" untuk melayani perspektif ini dan membangunnya dengan mengabaikan Palestina dan segala pengaturan yang terkait dengan masa depan perjuangan Palestina. Namun, Operasi “Tofan Al Aqsa” datang dari luar konteks ini dan bertentangan dengannya, untuk mengembalikan perjuangan Palestina ke posisi sentralnya dan menghidupkan kembali semua berkas yang terkait dengannya, seperti negara, kota Al Quds, pemukiman Yahudi, dan masalah pengungsi.


Oleh karena itu, operasi 7 Oktober, betapapun mengejutkan Israel, dalam beberapa hal merupakan hasil alami dari kebijakan penjajah, terutama mengingat pemerintahan Netanyahu saat ini dan meluasnya sayap kanan dalam masyarakat Israel. Jelas bahwa operasi ini telah menyebabkan kerusakan serius pada strategi pencegahan Israel dan pada kepercayaan warga Israel terhadap lembaga keamanan, militer, dan politik mereka. Kita dapat memahami betapa besarnya kekerasan yang dilakukan Israel dan kegigihannya untuk menimbulkan kerugian dan kehancuran yang sangat besar terhadap warga Palestina dalam perang di Gaza itu adalah sebagai upaya untuk memulihkan kekuatan ini dalam menghadapi “ancaman Palestina” yang semakin meningkat.


Kerusakan yang ditimbulkan oleh kekuatan pencegah Israel di tingkat regional tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh perlawanan Palestina. Kekhawatiran keamanan Israel tentang kemungkinan terulangnya apa yang terjadi dengan perlawanan di Gaza dari perbatasan Lebanon tidak terlintas dalam pikiran. Dari kekosongan, mengingat meningkatnya kemampuan militer yang dimiliki oleh Hizbullah yang didukung Iran. Oleh karena itu, ia berupaya untuk menerapkan Resolusi PBB 1701 secara lebih ketat di Lebanon selatan. Upaya ini dilakukan dalam konteks upaya untuk memulihkan kekuatan pencegahan dalam skala yang lebih luas, sehingga perangnya di Gaza selaras dengan strategi regionalnya dalam menghadapi pengaruh Iran.



Perpecahan Sosial dan Beban Ekonomi yang Tinggi


Masyarakat Israel tengah menyaksikan perpecahan tajam identitas Israel dan definisi tentang dirinya sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pernyataan yang dikeluarkan oleh para pemimpin Israel mengenai memburuknya bahaya internal telah meningkat, mencapai titik peringatan akan bahaya “perang saudara” karena kurangnya keharmonisan antara komponen-komponen masyarakat ini di satu sisi, dan meningkatnya pengaruh kelompok kanan keagamaan dan gerakan Zionis ekstremis di bidang politik di sisi lain. Selain itu, terdapat perselisihan yang berkembang mengenai dualitas Yahudi dan sekularisme serta dampaknya terhadap gaya hidup dan hubungan antara komponen-komponen masyarakat.

 

Perpecahan ini tercermin pada penyusunan komposisi kekuatan politik, dan krisis pemerintah Israel mencapai puncaknya pada tahun 2019. Israel menyaksikan lima putaran pemilihan umum dalam waktu singkat, setelah tidak ada satu pun partai atau blok yang bersaing gagal selama empat putaran pertama untuk memperoleh 61 kursi di Knesset yang akan memungkinkan mereka membentuk pemerintahan, bahkan dengan mayoritas tipis. Setelah pemilu April 2019, September 2019, Maret 2020, dan Maret 2021, pemilu terakhir diadakan pada November 2022 yang membawa kenaikan Netanyahu dan pemerintahan sayap kanannya. Pemerintahan ini telah menyebabkan salah satu konfrontasi dalam negeri terbesar dalam sejarah Israel sebelum Tofan Al-Aqsa, yang fokusnya adalah masalah amandemen peradilan yang dirancang untuk "melayani kelompok ekstrem kanan" dan melindungi Netanyahu dari tuntutan atas tuduhan korupsi. Hal ini masih berlangsung hingga kini, dan hal ini tercermin dalam sikap masyarakat Israel terhadap perang di Gaza, serta tujuan dan prioritasnya.


Perang ini juga membayangi perekonomian Israel, yang menderita kesulitan dan tekanan keuangan yang semakin meningkat karena pengeluaran langsung dan tidak langsung yang membebani kas negara dikarenakan aliran pengungsi Israel dari daerah-daerah yang terdampak perang. Wilayah utara di perbatasan Lebanon dan wilayah selatan di perbatasan Gaza dievakuasi ke daerah lain yang lebih aman. Sejumlah kegiatan pertanian dihentikan karena beberapa lahan berada di wilayah ketegangan. Banyak proyek komersial dan infrastruktur terganggu karena penarikan pekerja Palestina, selain pemanggilan puluhan ribu tentara cadangan untuk bergabung ke medan perang dan mengeluarkan mereka dari siklus produksi.


Ironisnya, sumbangan kelompok sayap kanan terhadap ekonomi Israel lebih sedikit dibandingkan kelompok lain. Sedangkan wacana yang mereka miliki didasarkan pada hasutan untuk melanjutkan perang dan meningkatkan biayanya. Aliran ini tidak memberikan perhatian dalam sikap yang diambilnya jika dampak negatif pada ekonomi Israel, bahkan kepada situasi dan hubungannya dengan dunia luar, sehingga menjadikan tempat yang tidak menarik untuk investasi, dan jadi kurang mendorong migrasi Yahudi ke sana. Patut dicatat pula bahwa penganut Haredi (Yahudi ultra-ortodoks) menolak wajib militer dan bersikeras tidak ikut dinas militer meskipun tentara membutuhkan mereka, sebagaimana dikatakan oleh pemimpin oposisi Yair Lapid. Kepala Rabbi Israel, Yitzhak Yosef, mengancam akan menyuruh "semua" dari mereka meninggalkan Israel jika mereka dipaksa mendaftar. Jumlah mereka pada tahun 2023 mencapai sekitar 66 ribu calon prajurit militer.


Hal terpenting yang ditunjukkan oleh perpecahan ini dan biaya politik serta ekonomi yang ditimbulkannya adalah bahwa Israel akan tetap jauh dari stabilitas politik dan pemerintahan pada  periode mendatang. Karena perang di Gaza, apapun hasilnya, dan meskipun digambarkan sebagai perang eksistensial, tidak mampu menyatukan masyarakat Israel, tetapi malah menambah pembenaran baru bagi perpecahan Israel. Semua jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas orang Israel bercita-cita untuk menyingkirkan pemerintahan sayap kanan dan lebih memilih pemerintahan yang lebih moderat. Perlu dicatat bahwa ada ketakutan Barat yang berkembang bahwa masyarakat Israel tengah bergeser ke arah ekstremisme sayap kanan, yang memperdalam perpecahan antara komponen-komponennya dan memperburuk ketidakmampuan Israel dalam meraih keamanannya sendiri untuk melanjutkan jalur normalisasi.


Hubungan Israel dengan Barat dan citranya di mata opini publik Perang di Gaza dan genosida serta kelaparan warga Palestina di tangan pemerintah sayap kanan ekstrim telah menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan hubungan antara Barat dan Israel. Pandangan yang berlaku di Barat, bahwa Israel adalah satu-satunya demokrasi di kawasan tersebut dan negara yang mewakili perpanjangan peradaban Barat dan nilai-nilainya, mulai menjadi sasaran kritik dan peninjauan. Meskipun narasi Israel mendominasi secara luar biasa di koridor kekuasaan, pemikiran, dan pengaruh di Barat, Gaza telah mendapatkan simpati Barat di kalangan generasi muda. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa menyaksikan demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mendukung Palestina dan narasi mereka serta menentang perang. Lingkaran protes juga meluas hingga mencakup politisi dan anggota parlemen Barat, dan komunitas seni pun tidak kebal terhadap tren ini. Gugatan hukum yang diajukan Afrika Selatan di hadapan Mahkamah Internasional terhadap Israel atas tuduhan genosida menambah momentum bagi keterlibatan para profesional hukum, aktivis hak asasi manusia, dan banyak profesional media serta influencer media sosial.


Secara politis, jajak pendapat Amerika mencerminkan adanya peningkatan simpati terhadap Gaza, terutama secara politis, di kalangan pemuda. Apa yang membuat pemerintahan Presiden Biden khawatir tentang kemungkinan kalah dalam pemilu November 2024, karena dukungannya yang  tanpa syaratnya terhadap Israel, meskipun kejahatan dan praktik hukum rimba yang dilakukan Israel. Narasi tradisional yang memperlakukan Israel sebagai korban tidak lagi dominan. Narasi Palestina telah mulai menyingkirkannya, mengalahkannya, dan mendorong sejumlah kekuatan Barat untuk meninjau kembali dukungan mereka yang tidak terbatas terhadap Israel.


Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan yang bersifat politis, moral dan strategis di Israel maupun di Barat tentang apakah penjajah Israel telah menjadi beban bagi Barat, terutama setelah perang di Gaza menyingkap kebrutalan yang tak tertandingi dan penginjakan semua nilai dan standar hukum dan kemanusiaan. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan Israel untuk menjaga keamanannya sendiri dan berperang di masa mendatang tanpa bergantung pada Barat. Seolah-olah negara yang digunakan untuk melindungi kepentingan Barat dan mendominasi negara-negara tetangganya, telah menjadi sangat membutuhkan perlindungan permanen, terutama pada saat Washington sedang berusaha mengurangi kehadiran militernya di Timur Tengah dan mengurangi keterlibatan langsungnya dalam perang dan krisis di Timur Tengah. Perlu dicatat bahwa pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump mengandalkan Israel, dan khususnya Netanyahu, untuk menjadi agen utamanya di kawasan tersebut. Dalam konteks itulah muncul Kesepakatan Abad Ini, tetapi Operasi Tofan Al-Aqsa mengungkap rapuhnya kekuatan Israel dan menegaskan bahwa negara Israel tidak dapat terus menjalankan fungsinya tanpa kehadiran dan dukungan langsung dari Washington.



Kesimpulan


Ketakutan "eksistensial" Israel bukan dimulai dengan Operasi Tofan Al-Aqsa, tapi sudah sejak bertahun-tahun sebelumnya dimana yang menjadi salah satu penyebabnya adalah meluasnya pengaruh kaum religius sayap kanan dan Zionis, dengan dua aspeknya, konservatif dan ekstremis, di dalam masyarakat Israel hingga mencapai puncak politiknya dengan pemerintahan Netanyahu saat ini. Hal ini juga menjadi katalisator yang mengobarkan ambisi Israel untuk memperkuat entitas negara dan memperluas cakupannya, baik secara geografis maupun demografis. Hal ini tampak jelas dari meluasnya pemukiman di Tepi Barat dan kota Al Quds, percepatan Yahudisasi Masjid Al-Aqsa dengan membaginya secara spasial dan temporal, serta terhentinya perundingan dengan Palestina untuk mengakhiri proses perdamaian dan solusi dua membuang solusi dua negara dari peredaran.


Sama saja apakah Israel mencapai tujuannya dari perang di Gaza atau gagal, tampaknya negara itu sedang menuju ke arah yang lebih ekstrim, bahkan dengan standar sekutunya Barat sekalipun. Ekstremisme menyusup ke masyarakat Israel dalam semua kategorinya, didorong oleh gerakan keagamaan di satu sisi dan masalah keamanan di sisi lain. Jika normalisasi mendapatkan kembali momentum setelah perang, ia akan menggantikan proses perdamaian. Kesepakatan ini mampu memperkuat Kesepakatan Abad Ini dan secara efektif membendung ambisi ekspansionis Israel. Sementara itu, normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab akan memberikan Israel apa yang dapat ditawarkan oleh proses perdamaian tanpa harus memberikan imbalan apapun kepada Palestina.


Bagaimanapun juga, Operasi Tofan Al-Aqsa akan menimbulkan dampak strategis yang luas terhadap negara Israel, persatuan masyarakatnya, dan proyek Zionis serta masa depannya di Timur Tengah. Pertanyaan tentang “keberadaan” dan penegakannya kembali di atas prinsip-prinsip yang baru akan terus menghantui politisi, militer, dan warga Israel. Kekhawatiran mereka terhadap keamanan terkait berkembangnya kemampuan perlawanan di dalam negeri dan perluasan pengaruh “musuh strategis” mereka di luar negeri tidak akan hilang. Keretakan dalam hubungan Israel dengan Barat membutuhkan waktu untuk disembuhkan. Mengenai kemunduran narasi Israel dan pergeseran opini publik global yang mendukung narasi Palestina, tampaknya ini adalah dinamika yang tidak dapat dibalikkan, setidaknya dalam waktu dekat.(KHO)


Share:

Minggu, 16 Februari 2025

Strategi AS dan Perang Gaza

Strategi AS dan Perang Gaza

Oleh: Alhawas Taqia


Pendahuluan


Perang Israel di Gaza telah menyebabkan guncangan baru dalam sistem internasional, dan mengungkapkan Ketidakmampuan Amerika Serikat untuk memaksakan apa yang diinginkannya dan mencegah apa yang tidak diinginkannya pada tingkat Politik internasional. 


Perang ini mengalihkan perhatian pimpinan Amerika dari perang Rusia di Ukraina, yang pada gilirannya mengalihkan perhatiannya dari tujuan strategis utamanya menahan kebangkitan Cina. Sementara itu, kekacauan ini mendorong beberapa kekuatan internasional atau Kekuatan besar atau kekuatan yang sedang naik daun untuk bersaing dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk merebut orbitnya berkenaan dengan kepemimpinannya dalam sistem internasional dan desakan atas partisipasinya atau menggantikan posisinya.


Kelemahan Amerika terlihat dalam tiga lingkaran yang membentuk strategi utama Amerika.  Ini adalah lingkaran kawasan Timur Tengah, yang menjadi penting dari cadangan energinya dan jalur laut dan daratnya. Lingkaran Eropa, yang menjadi penting dari kedekatannya kekuatan besar yaitu Rusia, yang merupakan ancaman bagi kepemimpinan Amerika. Dan lingkaran Asia Tenggara, yang menjadi penting dari kebangkitan regionalnya dan kehadiran Tiongkok, negara adikuasa yang menantang Amerika Serikat untuk meraih kepemimpinan global.


Kegagalan Permanen Israel


Perang Israel terhadap  Gaza terletak di jantung Timur Tengah. Strategi AS sebelum “Tofan Al-Aqsa” adalah bergerak menuju mitigasi (upaya mengurangi dampak buruk) berbagai permasalahan di kawasan ini dan berfokus pada Samudra Hindia dan Pasifik, untuk membendung meningkatnya kekuatan Cina. Karenanya, dia merumuskan rencana yang menetapkan Israel sebagai wakil untuk menangani keamanan Timur Tengah dalam menghadapi Iran melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab melalui "Perjanjian Abraham". Dalam konteks ini, normalisasi dipasarkan sebagai sebuah kerangka kerja untuk menangkal ancaman Iran dan sebagai mekanisme untuk mendorong Israel memberikan kepada Palestina hak-hak mereka.


Rencana ini telah berjalan jauh sebelum Tofan al Aqsa, dimana Israel telah melancarkan perang menyeluruh dan kebuasan yang melibatkan segala jenis kebrutalan termasuk Genosida yang mana Mahkamah Internasional didirikan untuk menyelidikinya. Di tingkat politik, pemerintahan Netanyahu mengumumkan penolakannya terhadap pembentukan negara Palestina, dan resolusi Knesset menerbitkan undang-undang mengenai masalah ini yang disetujui oleh semua anggotanya. Benjamin Netanyahu membanggakan "prestasi" ini dan bahwa ia telah berhasil selama hampir dua puluh tahun pemerintahannya dalam menggagalkan pembentukan negara Palestina, dan ia berjanji untuk melanjutkan kebijakan ini hingga akhir pemerintahannya. Dengan demikian, hilanglah justifikasi bagi normalisasi, dan negara-negara Arab terjerumus ke dalam rasa malu, dan negara-negara yang menginginkan pembenaran atas normalisasi, sehingga negara-negara yang menginginkan normalisasi tidak lagi memiliki pembenaran untuk menerimanya di masa mendatang.


Sebaliknya, Amerika Serikat berusaha mengarahkan ulang kebijakan Israel dan kembali menerapkan strategi aslinya. Maka didesaklah Tel Aviv untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza guna meringankan dampak bencana kemanusiaan, yang merusak reputasi Israel dan membayangi Washington sebagai mitra dalam perang. Namun pemerintahan Netanyahu menolaknya dan menggunakan senjata kelaparan untuk menekan perlawanan, sambil terus menolak solusi dua negara dengan anggapan itu mengancam keamanan Israel. Di antara seruan Washington dan penolakan Tel Aviv, pemerintah AS tampaknya tidak berdaya untuk memaksakan kehendaknya kepada sekutu dekatnya, Israel.


Penolakan Israel ini menempatkan Washington dalam dilema strategis dan merusak rencananya untuk mendorong proses normalisasi agar melibatkan negara Arab lainnya, agar memperkuat posisi regional Tel Aviv. Entah tetap terlibat aktif dalam urusan kawasan untuk melindungi sekutunya dan mencegah negara-negara yang menentang kebijakannya, seperti Iran, dari melakukan ekspansi pengaruhnya, sehingga melemahkan kemampuannya untuk membendung Tiongkok. Atau memilih untuk beralih ke Asia Tenggara, yang akan meningkatkan kerusuhan di Timur Tengah dan mempengaruhi pasar energi dan lalu lintas pelayaran. Akibatnya, getaran mungkin terjadi di beberapa negara yang rapuh, mendorong beberapa di antaranya runtuh. Dalam kedua kasus tersebut, Amerika Serikat akan kehilangan kredibilitasnya dan kemampuannya untuk terus memimpin sistem internasional sendirian.


Sedangkan bagi negara-negara Arab yang sedang melakukan normalisasi, kepercayaan mereka terhadap kemampuan Israel untuk melindungi mereka dari bahaya eksternal dan internal akan menurun. Israel, yang selalu menggambarkan dirinya sebagai kekuatan luar biasa di Timur Tengah, telah terbukti tidak mampu mencapai kemenangan yang menentukan melawan faksi-faksi bersenjata yang bertempur dalam jumlah kecil dan dengan senjata sederhana, dan bahwa Israel membutuhkan Amerika Serikat untuk melindunginya dan menyediakan untuknya senjata, amunisi, dan informasi. Negara-negara ini mungkin akan mempertimbangkan kembali penilaian mereka terhadap batasan kekuatan Israel dan sejauh mana kemampuannya untuk menjamin perlindungan kepada mereka sebagai pengganti  Amerika Serikat. Sehingga dengan demikian upaya Washington untuk membangun sistem keamanan Timur Tengah yang dipimpin oleh Israel mengalami kegagalan dan berguguranlah negara-negara Arab dari posisi ketergantungan.


Tekanan di front Eropa


Di tingkat Eropa, perang Israel di Gaza berkontribusi dalam mencegah Amerika Serikat mengalahkan Rusia dalam invasinya ke Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui bahwa perang Gaza mengalihkan opini publik dunia pada umumnya dan opini publik Barat pada khususnya dari situasi di Ukraina. Momentum emosional yang dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan bagi pertahanan negaranya menurun, dan tingkat minat publik di negara-negara Barat yang berupaya membantunya pun menurun. Sebelumnya, Ukraina menggunakan momentum itu untuk menekan pemerintah Eropa yang enggan membantunya, seperti Hongaria.


Di sisi lain, momentum ini menjadi kendala bagi pemerintah yang bersimpati terhadap ٌRusia, yang sebelumnya merasa malu untuk memberikan dukungan mereka terhadap Putin, yang tampil dengan citra agresor terhadap negara merdeka, dimana isolasi terhadap Rusia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, setelah perhatian beralih ke perang Israel di Gaza dan dukungan tak terbatas dari Barat yang diterimanya, citra Putin yang menentang perang Gaza, berubah menjadi pembela rakyat tertindas yang dijajah berkepanjangan di bawah dukungan penuh Barat. Perang Gaza juga meningkatkan tekanan pada sumber daya militer dan keuangan Barat, yang sebelumnya tidak mampu memberikan dukungan yang diperlukan kepada pasukan Ukraina. Pada bulan Oktober 2023, misalnya, General Dynamics mengumumkan telah menjadi produsen  20.000 peluru artileri setiap bulannya, dimana sebelumnya hanya memproduksi 14.000 setiap bulan.  Perusahaan raksasa Amerika ini bermaksud meningkatkan produksinya hingga 100.000 peluru per bulan. Tidak diragukan lagi bahwa perang Gaza akan mendorongnya untuk meningkatkan produksinya dengan lebih cepat.


Penurunan signifikan dukungan Barat untuk Ukraina menyebabkan kegagalan “serangan balik”nya terhadap pasukan Rusia, dan membuka jalan bagi Rusia untuk memulihkan keseimbangannya dalam industri militer, memobilisasi pasukan tempur tambahan, dan meluncurkan serangan baru pada akhir tahun 2023, mempenetrasi tiga kota strategis: Bakhmut, Avdiivka, dan Kupyansk.


Hambatan bagi koridor ekonomi antara India, Timur Tengah dan Eropa 


Adapun lingkaran Asia Selatan, di mana Cina berada di pusatnya; Perang Gaza telah memberikan pukulan yang sangat dahsyat terhadap proyek koridor ekonomi India-Timur Tengah-Eropa, yang dikenal sebagai “Koridor.” Amerika Serikat, yang mensponsori proyek ini, berupaya mencapai dua tujuan melalui proyek ini: Pertama: menggagalkan proyek Sabuk dan Jalan Tiongkok, yang digunakan Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya ke berbagai arah, dan menghubungkan sejumlah besar negara di dunia dengan ekonominya atas dasar “saling menguntungkan”. Kedua: Mengintegrasikan Israel ke dalam perekonomian kawasan dan mendorong normalisasi agar mencakup lebih banyak negara.


Proyek Koridor diharapkan dimulai di India dan melewati Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yordania, dan Israel, lalu ke pelabuhan Yunani, sebelum berakhir di negara-negara Eropa lainnya. Negara-negara ini akan dihubungkan oleh infrastruktur yang terdiri dari jaringan kereta api, serat optik, dan jaringan pipa hidrogen bersih. Anggaran sebesar $20 miliar telah dialokasikan untuk membangun koridor ini, yang diharapkan dapat memangkas waktu tempuh dari India ke Eropa sekitar 40% dan biayanya sekitar 30%. Tampaknya UEA memberikan kontribusi finansial yang luar biasa bagi keberhasilan proyek ini, karena Presiden Biden mengucapkan terima kasih kepada presidennya, Mohammed bin Zayed, ketika ia menyapanya, dengan mengatakan: “Proyek ini tidak akan terwujud tanpa usaha Anda.”


Jelas dari peta proyek ini bahwa Israel adalah mata rantai utama; Di satu sisi, dia akan terhubung dengan perekonomian negara-negara Teluk, yang telah menantikannya sejak proyek Shimon Peres Timur Tengah Baru. Dengan demikian hal ini akan menjadinya sebagai entitas alami bagi kelangsungan hidupnya di kawasan Arab, dan bahkan menjadi salah satu kawasan terkaya di dalamnya. Di sisi lain, Israel adalah penghubung antara dua lokomotif ekonomi besar: Asia Tenggara dan Eropa. Dengan demikian, ia memberi keuntungan bagi ekonomi-ekonomi Arab yang kaya, ekonomi-ekonomi Asia yang sedang berkembang, dan ekonomi-ekonomi Eropa yang maju. Selain keuntungan-keuntungan ini, Israel akan menjadi bagian dari strategi Amerika untuk menggagalkan strategi Sabuk dan Jalan Tiongkok, yang diandalkan Beijing untuk melepaskan diri dari cengkeraman Amerika Serikat dan menciptakan jaringan negara-negara yang tunduk pada pengaruhnya yang semakin besar.


Perang Gaza mungkin akan menggagalkan semua rencana ini, karena Israel berada di ambang menjadi negara nakal. Negara ini menghadapi tuntutan hukum di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida, serta sejumlah kasus lain atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Mahkamah Kriminal Internasional. Kepemimpinan Israel telah menyatakan penolakannya terhadap solusi dua negara yang disepakati secara internasional, dan telah berjanji untuk menduduki kembali Gaza dan memperluas aktivitas permukiman di Tepi Barat. Jika berhasil melaksanakan apa yang dikatakannya, kemungkinan besar negara dia akan berubah menjadi negara apartheid, mirip dengan Afrika Selatan di bawah kekuasaan minoritas kulit putih.


Kalau keadaannya seperti ini, proyek koridor ekonomi itu akan kolaps, karena negara-negara lain tidak akan berminat bermitra dengan Israel dan menjalin hubungan dengannya lewat proyek ini, dan keterasingannya akan makin bertambah kalau Mahkamah Internasional memutuskan Israel melakukan genosida, dan dengan begitu Amerika akan gagal dua kali. Yang pertama: mendedikasikan Israel sebagai link utama dan kekuatan hegemonik di Timur Tengah, dia akan tetap menjadi entitas yang tersingkirkan. Yang kedua: membentuk alternatif yang menyaingi atau menggagalkan proyek strategis Tiongkok: Sabuk dan Jalan.


Pertalian Negara-negara Ambisius


Perang Gaza tidak hanya melemahkan posisi Amerika Serikat di tiga lingkaran strategis, tetapi mungkin juga telah mendorong kekuatan utama yang menentangnya di lingkaran tersebut untuk bersatu lebih erat. Pada bulan Maret 2024, Tiongkok, Rusia, dan Iran melakukan latihan angkatan laut di Teluk Oman dengan slogan “Sabuk Keamanan Maritim”. Ketiganya mengumumkan bahwa manuver yang berlangsung di kawasan strategis di tengah-tengah apa yang dikenal sebagai segitiga “Selat Emas”: Hormuz, Bab al-Mandab, dan Malaka, bertujuan untuk menciptakan 16 tim keamanan masa depan dari ketiga negara tersebut. Iran sebelumnya telah mengintensifkan dukungan militernya kepada Rusia dengan mensuplai drone dalam perang terhadap Ukraina. Kedua negara tersebut menjalin kerjasama militer yang mencakup persenjataan, pelatihan, dan manufaktur bersama.


Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Rusia terus bertambah baik, tercermin dalam suara bulat di Dewan Keamanan pada bulan Maret 2024 untuk menolak rancangan resolusi Amerika yang menyerukan gencatan senjata sementara di Gaza, dikarenakan rancangan tersebut tidak secara eksplisit menyerukan gencatan senjata permanen. Itu merupakan kedok diplomatik bagi kelanjutan perang Israel di Jalur Gaza. 


Di sisi lain, perang di Gaza telah menyoroti kutub yang memberontak terhadap AS, dipimpin oleh Afrika Selatan, yang menggugat Israel di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. Presiden Brazil Lula da Silva melancarkan serangan keras terhadap Israel, dan Nikaragua mulai menggugat Jerman di hadapan Mahkamah Internasional atas dukungannya terhadap kejahatan Israel. Kekuatan-kekuatan ini bersatu untuk menentang hegemoni Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan bersaing untuk mewakili apa yang disebut “Global Selatan.” Dan menemukan di Gaza, kasus yang tepat untuk mengutuk Barat dan menghasutnya dan melawannya kebijakannya, dan membongkar standar gandanya.


Kesimpulan


Amerika Serikat akan keluar dari perang Gaza menderita kegagalan  di lebih dari satu tingkatan. Tujuan-tujuannya secara bertahap mengalami kegagalan di Timur Tengah.  Perang Ukraina telah mengalihkan perhatiannya dari upaya membendung China, lalu perang Gaza pecah dan mengalihkan perhatiannya dari perang Ukraina. Tidak jelas bagaimana ia dapat mengendalikan dua gempa  “kecil” ini untuk kembali ke pertempuran utama dengan Tiongkok. Kemungkinan besar, ia akan tetap sibuk dengan dua lingkaran strategis: Eropa dan Timur Tengah, untuk waktu yang lama. Sementara itu, Tiongkok akan terus bangkit, menjalin jaringan pengaruhnya, dan bersaing dengan Amerika Serikat untuk memimpin sistem internasional. Tiongkok juga akan diikuti oleh semakin banyak negara yang menentang hegemoni Barat dan menjadi bagian dari “Global Selatan”.(KHO)
Share:

Rabu, 05 Februari 2025

Fitur Fase Baru Konflik Pasca Badai Al Aqsa

Fitur Fase Baru Konflik Pasca Badai Al Aqsa 

Oleh: Dr. Sa’id Al Haaj

Penulis dan peneliti Palestina


Aljazeera - 04 Februari 2025


Perang atas Gaza terakhir tidak berbeda dari perang-perang sebelumnya, tidak saja dari segi durasi dan kerugian manusia dan material secara langsung, tetapi juga dari sisi hasil keseluruhan, implikasinya secara dalam, dan dampak jangka panjang, yang menempatkan seluruh wilayah  di hadapan fase yang benar-benar berbeda, terutama berkaitan dengan konflik dengan penjajah.


Hasil


Laporan awal menunjukkan bahwa penjajah kehilangan lebih dari 900 perwira dan prajuritnya selama perang ini, ditambah ratusan orang yang mereka kategorikan sebagai warga sipil, yang merupakan jumlah tertinggi sejak perang tahun 1973. Selain kerusakan mendalam pada ekonomi yang membutuhkan beberapa paket bantuan keuangan langsung dan besar dari Amerika Serikat. Belum lagi gelombang migrasi balik, dan hilangnya rasa aman yang dirasakan banyak orang di "Israel", khususnya para pemukim Yahudi di Jalur Gaza dan wilayah utara.


Sebaliknya, perkiraan menunjukkan bahwa jumlah syuhada yang telah gugur di Jalur Gaza telah melampaui 60.000, sekitar 60% di antaranya adalah wanita dan anak-anak, dan sekitar 11.000 syuhada masih berada di bawah reruntuhan hingga saat ini.


Terkait infrastruktur, dapat dikatakan bahwa penjajah telah menghancurkan infrastruktur lebih dari separuh Jalur Gaza, terutama lembaga-lembaga pemerintahan dan sektor kesehatan, selain juga menghancurkan sebagian besar rumah baik secara keseluruhan maupun sebagian.


Terkait gerakan perlawanan, Hamas berkabung atas gugurnya banyak pemimpin politiknya pasca gencatan senjata, terutama kepala biro politiknya, Ismail Haniyeh, wakilnya, Saleh al-Arouri, dan kemudian  (sebelumnya pimpinan Hamas di Gaza) Yahya Sinwar, dan sebagian besar anggota biro politiknya di Gaza, di samping sejumlah pemimpinnya di Tepi Barat dan luar negeri, serta para pemimpin faksi Palestina lainnya.


Di sisi militer, juru bicara Brigade Al Qassam, Abu Ubaida, berduka cita atas syahidnya Kepala Staf, Muhammad al-Deif, wakilnya Marwan Issa, komandan tiga brigade, dan sejumlah kepala staf, selain perkiraan gugurnya sejumlah besar pemimpin menengah dan ratusan/ribuan pejuang di Brigade Qassam dan faksi-faksi perlawanan lainnya. 



Tantangan Besar


Meskipun Gaza mengalami kerugian dan pengorbanan, penjajah menghentikan agresinya tanpa meraih tujuan-tujuan luas yang dideklarasikannya, seperti melenyapkan perlawanan, mencegah bahaya yang ditimbulkannya, dan memulangkan tawanannya dengan operasi militer. Selain hasil-hasil strategis jangka panjang dari perang tersebut dan yang terkait dengan pencegahan, ketegasan, kemampuan, kohesi internal, dan citra "Israel" di hadapan dunia, serta keunggulannya di kawasan, dan hal-hal lain yang saya uraikan secara rinci dalam artikel sebelumnya.


Dengan mempertimbangkan semua hal ini, dan keluarnya gerakan perlawanan Palestina dari perang ini dengan tegak berdiri di atas dua kakinya, kokoh, kohesif dan terkendali, dan rakyat tetap teguh di tanah air mereka dan rencana pemindahan digagalkan meskipun pengorbanan yang tak terlukiskan, ada tantangan besar yang menanti Gaza dan gerakan perlawanan, dan perjuangan Palestina secara umum pada tahap mendatang.


Tantangan yang paling utama adalah kemungkinan penjajah kembali melakukan agresi setelah selesainya kesepakatan pertukaran tahanan, setelah tahap pertama atau setelah semua kesepakatan selesai, yang mana telah berulang kali diutarakan oleh pernyataan “Israel” dan pernyataan lainnya yang dikaitkan dengan presiden Amerika yang baru,  Di sinilah terletak urgensi pesan kekuatan dan persaingan yang dikirim oleh gerakan perlawanan dengan tanpa melebih-lebihkannya.


Pada tataran praktis, tantangan terpenting adalah operasi bantuan dan rekonstruksi, perawatan bagi yang terluka, cedera, dan sakit, dukungan bagi masyarakat, serta masalah kemanusiaan mendesak lainnya, yang mana sudah pasti “Israel” berusaha untuk memperlambat dan membatasinya. Dalam upaya untuk menjadikan lama penderitaan sebagai alat tekanan politik terhadap masyarakat Gaza dan gerakan perlawanannya, pada tahap saat ini dan dalam jangka panjang.


Ini adalah tantangan besar dan berbahaya yang tidak mampu diatasi oleh rakyat Palestina sendirian. Sebaliknya, tangan dunia Arab dan Islam harus bergabung dengan mereka secara praktis dan cepat, di samping melakukan tekanan yang diperlukan agar penjajah memenuhi kewajibannya.


Proyek pemindahan warga Gaza - sebagian maupun seluruhnya - ke luar negeri, yang berhasil digagalkan oleh warga Gaza dan gerakan perlawanan lebih dari satu kali selama perang. Keteguhan mereka khususnya di wilayah utara Gaza yang terkepung, dan kemudian adegan-adegan kepulangan mereka ke Gaza yang rumah-rumahnya telah hancur.


Namun, proyek tersebut belum sepenuhnya selesai, dan penjajah belum meninggalkannya sepenuhnya, sebagaimana yang ditegaskan kembali oleh Presiden AS Donald Trump, yang mengindikasikan perlunya sejumlah negara, terutama Mesir dan Yordania, menampung warga masyarakat Gaza. Tak perlu dikatakan lagi bahwa upaya menghalangi operasi bantuan, dukungan dan rekonstruksi adalah bagian penting dari upaya menjadikan Jalur Gaza sebagai daerah yang tidak layak huni hingga menjadi salah motor bagi proyek pemindahan ini.


Secara politis, proyek-proyek penjajah yang didukung Barat terkait “hari esok” (pasca perang) Gaza, atau lainnya, belum berakhir. Namun proyek normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab sekitar dan regional khususnya perlu mendapat perhatian khusus. Operasi Badai Al Aqsa telah membekukan sementara proses normalisasi, tetapi pemerintah AS berupaya mengaktifkannya sebagai bagian dari kesepakatan komprehensif.


Inti dari tujuan-tujuan di atas dan lebih banyak lagi adalah upaya-upaya berkelanjutan untuk melemahkan, mengkriminalisasi, dan meminggirkan perlawanan, menghilangkan kegunaan dan dukungannya di tengah rakyat, dan mencoba untuk membangun narasi yang menjadikannya - bukan penjajah - yang bertanggung jawab atas kerugian, pengorbanan, dan penderitaan rakyat Gaza.


Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun perjuangan Palestina telah memperoleh banyak kemajuan dalam jangka panjang, namun melanjutkan perlawanan dengan berbagai bentuk dan metode baru yang berbeda, beraneka ragam, dan menggaungkannya di jalan-jalan Gaza pada khususnya, akan menjadi tantangan yang sangat besar.



Fase Baru


Di garis depan implikasi mendalam dari operasi 7 Oktober 2023 dan apa yang terjadi setelahnya, kemudian gencatan senjata dan pertukaran tahanan, adalah bahwa “Israel” telah kehilangan semua pilar strategi keamanannya, mulai dari pencegahan, peringatan dini, pertahanan, ketegasan, dan lain-lain. Akibatnya, mitos-mitos yang dulu dipromosikan bahwa tak seorangpun terbayang untuk menyerangnya  apalagi sampai mengalahkannya kini telah runtuh.


Sebaliknya, perlawanan - dan pengasuhnya dan rakyatnya - sanggup memulihkan kerugian mereka, mencari ganti, dan membangun kembali di kemudian hari. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Gaza membutuhkan istirahat jangka panjang untuk menyembuhkan luka-lukanya, mengatasi krisisnya dan membangun kembali dirinya, terutama karena setiap konfrontasi di masa depan mungkin dimulai langsung dari titik di mana konfrontasi saat ini berakhir, seperti yang telah terbiasa penjajah lakukan dan didorong oleh dukungan dan bantuan Barat dan diamnya bangsa Arab dan regional.


Tetapi ini tidak berarti berakhirnya konfrontasi, berakhirnya masalah, dan tidak pula tercapainya tujuan perlawanan, dalam arti yang lebih luas dan umum, secara geografis dan juga strategis.


Perang ini telah menunjukkan wajah buruk sebenarnya dari penjajahan dan apa yang disembunyikannya di kawasan secara keseluruhan, bukan hanya Gaza. Yang paling depan adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, yang seharusnya cukup bagi berbagai rezim di kawasan  untuk meninjau sikap mereka terhadapnya dan hubungan mereka dengannya saat ini dan di masa mendatang.


Saat ini, “Israel”, meskipun mengalami kegagalan militer, keamanan dan politik di Gaza, kembali berupaya mewujudkan proyek “Israel Raya” dan bahkan mungkin lebih jauh lagi, melalui proyek penjajahan dan pemukiman di Tepi Barat, Lebanon selatan dan Suriah, serta menyerang Iran, Yaman dan Irak, serta proyek pemindahan warga Palestina ke Mesir dan Yordania, yang tampaknya didukung oleh Trump.


Di sisi lain, meskipun rezim belum sepenuhnya merasakan perubahan yang ditimbulkan Badai Al Aqsa, dampaknya terhadap elit dan rakyat tidak dapat diremehkan. Keteguhan Gaza dalam agresi tahun 2008 dan keberanian perlawanannya, bersama dengan sikap resmi Arab terhadapnya, merupakan salah satu motivasi terjadinya revolusi pada tahun 2010-2011. Perang ini tidak sebanding dengan agresi sebelumnya, keteguhan perlawanan, atau pengkhianatan resmi.


Salah satu konsekuensi paling penting dari Badai Al Aqsa adalah masalah kesadaran; Semua orang menyadari realitas "Israel" dan apa yang disembunyikannya kepada seluruh kawasan, bukan hanya terhadap rakyat Palestina kapan pun ia mampu, dan sekarang, khususnya dengan Trump, dia menyangka akan mampu membuat berbagai perubahan radikal.


Pada akhirnya, dan dalam jangka menengah dan panjang, semua pihak akan berbenturan dengan penjajah, baik karena pilihan atau dengan paksaan, mengikuti waktu mereka sendiri atau waktu penjajah. Sesungguhnya fakta, peristiwa dan celah yang terungkap akibat perang berkontribusi untuk membangun kesadaran baru di seluruh wilayah dan di semua tingkatan, sebagaimana rencana yang dikeluarkan oleh "Israel" meramalkan perubahan radikal untuk seluruh wilayah, yang mengharuskan setiap orang untuk mengemban tanggung jawabnya masing-masing.


Penjajah telah melakukan kejahatan genosida dalam makna seutuhnya terhadap Gaza, rakyatnya, batu-batunya, pohon-pohonnya, dan di semua tingkatan, tetapi itu tidak dapat mematahkan tekad rakyat Palestina. Perlawanan menang, idenya mengakar, dan modelnya menjadi mantap. Hal ini dilihat dan dipahami oleh rakyat Palestina, dan juga oleh “orang-orang Israel,” dan semua orang di kawasan ini dan di dunia.


Perang ini penuh dengan banyak pelajaran yang mendalam, beberapa di antaranya telah terungkap dan yang lainnya akan terungkap seiring berjalannya waktu, berkontribusi pada interaksi dengan data dan fakta lain untuk menetapkan dampak jangka panjang Badai Al Aqsa terhadap negara penjajah, isu Palestina, dan seluruh kawasan secara sama.


Kesimpulannya, Israel tidak mampu menggusur rakyat (Gaza) atau melenyapkan perlawanan, dan dengan demikian gagal membumihanguskan masalah Palestina. Ini membawa Israel dan seluruh kawasan ke dalam fase baru dan berbeda dari konflik dengannya, yang ciri-ciri, poros dan dinamikanya akan menjadi semakin jelas seiring berjalannya waktu dan terungkapnya fakta-fakta.


Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini belum tentu mencerminkan sikap editorial Al Jazeera Network.(KHO)


Sumber:

https://www.aljazeera.net/opinions/2025/2/4/%D9%85%D9%84%D8%A7%D9%85%D8%AD-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B1%D8%AD%D9%84%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D8%AF%D9%8A%D8%AF%D8%A9-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%B1%D8%A7%D8%B9-%D8%A8%D8%B9%D8%AF


Share:

Kamis, 28 Maret 2024

Resolusi yang “Pincang”: Mengapa Baru Sekarang?

Oleh: Hamzah Zawbaa


Ketika bulan suci Ramadhan sudah separuh jalan, dunia yang munafik ini baru ingat bahwa ini adalah bulan suci bagi umat Islam, dan bahwa penderitaan rakyat Palestina telah melampaui batas dan mempermalukan semua orang, mulai dari raja dan pangeran istana hingga rakyat jelata. di desa-desa, dusun-dusun, kota-kota besar, dan pinggiran kota yang menampung kedutaan besar Israel, di mana perwakilan penjajah itu bergerak jauh lebih bebas dibandingkan pergerakan warga negaranya sendiri. Pada tanggal lima belas Ramadhan 1445 H, para pemimpin dunia yang menguasai Dewan Keamanan memutuskan untuk mengizinkan dikeluarkannya #resolusi yang pincang tentang gencatan senjata pada sisa bulan Ramadhan dengan harapan itu akan berubah menjadi gencatan senjata permanen.. Alhamdulillah wahai dunia yang terculik atas usahamu ini!)


Setelah 171 hari perang genosida dan etnic cleansing yang tiada henti-hentinya, hati nurani negara-negara adidaya terhenyak, dan Amerika bersikap ramah, penuh kasih sayang, dan mengalah, serta membiarkan dirinya tetap diam dan tidak menggunakan senjata vetonya terhadap resolusi yang pincang untuk menghentikan perang dan membebaskan para tawanan: Tanpa tuntutan yang jelas untuk menghentikannya secara permanen, atau untuk menarik pasukan tentara Zionis, atau untuk memulangkan para pengungsi dan warga ke rumah-rumah mereka, atau untuk hak atas kompensasi dan rekonstruksi, dan hak untuk apa pun, ya Rabb, selain dari menyelamatkan Israel dari Netanyahu, yang diyakini oleh pemerintahan Biden bahwa Netanyahu telah menyabotase semua rencana Gedung Putih untuk menguasai dan mengendalikan dunia Arab dengan cara yang “tenang”, sedangkan Netanyahu lebih memilih cara yang “panas.”


Setelah hampir enam bulan, resolusi Dewan Keamanan yang “pincang” muncul dan menyingkap kepada dunia sejumlah fakta tentang Perang Dunia Arab Gabungan ini:


1- Negara Penjajah Israel masih belum menang dan belum mencapai tujuan apa pun yang diumumkan Netanyahu sendiri dan menteri pertahanannya, yaitu penghancuran kekuatan Hamas dan pembebasan para tahanan.


Negara Penjajah tidak mampu meyakinkan seluruh dunia tentang narasi haknya untuk membalas dan membela diri. Karena dunia tahu bahwa mereka adalah negara yang melakukan penjajahan, dan sudah mendahului operasi Tofan Al-Aqsa hampir tujuh dekade sebelumnya.


3- Negara Penjajah menghadapi pengucilan besar-besaran, seperti yang diungkapkan oleh majalah The Economist dalam edisi terbarunya, ketika majalah tersebut memasang gambar bendera Israel yang ditanam di gurun tandus dan berangin dan diberi judul “Israel Sendirian.”


4- Gerakan Perlawanan belum mengakui kekalahannya dan belum mengibarkan bendera putih dan menyerah, seperti yang diminta Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken secara terbuka sebagai syarat gencatan senjata, namun keputusan gencatan senjata dikeluarkan tanpa memenuhi permintaan Blinken.


5- Negara besar Amerika tidak mampu menahan kemarahan internasional yang luar biasa yang diwakili oleh negara-negara yang bukan anggota tetap Dewan Keamanan, termasuk negara saudara kita Aljazair, dan dengan demikian dia mendapati dirinya menjadi negara kedua yang semakin terasingkan atau terisolasi dan mulai merasa sesak ruang gerak diplomatiknya di koridor Perserikatan Bangsa-Bangsa, meskipun kita semua tahu bahwa persekutuannya dengan Penjajah Israel tidak dan tak akan pernah putus.


6 - Kemarahan yang terus meningkat di dalam Amerika Serikat karena dua hal: Yang pertama adalah kemarahan para elit tentang bagaimana Amerika, dengan kekuatan dan keperkasaannya, telah berubah menjadi “jongos” Israel yang mengendalikan keputusan-keputusan dan bahkan kemauan politiknya serta mempengaruhi nasib pemerintahannya. Yang kedua adalah kemarahan publik yang disebabkan oleh adegan pembunuhan, pemboman, dan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Penjajah Israel di depan mata telanjang dan telinga dunia.


7- Perang ini menegaskan apa yang kita perdebatkan sepuluh tahun yang lalu, yaitu bahwa kontra-revolusi dan kudeta yang terjadi setelah Musim Semi Arab diatur oleh aliansi jahat Arab-Zionis, yang para perencananya berpikir bahwa sudah tiba waktunya untuk membungkam rakyat agar tidak mengganggu Israel dan para penguasa yang secara keliru percaya bahwa Israel sebagai agen Amerika, ia mampu melindungi takhta mereka, dan mereka mendapati bahwa Israel tidak mampu melindungi dirinya sendiri dalam menghadapi gerakan perlawanan, yang bahkan bukan tentara reguler.


8- Perang yang tidak berhenti ini juga menegaskan bahwa penguasa negara-negara Arab turut terlibat dalam perang melawan Palestina, seluruh wilayah Palestina. Tepi Barat juga menghadapi seperti yang dihadapi  oleh rakyat Gaza, dan pasukan penjajah berkeliaran di seluruh kota-kota di Tepi Barat dan jalan-jalan serta gang-gangnya di depan mata dan hidung pemerintahan Mahmoud Abbas. Orang-orang diculik dari rumah dan tempat tinggal mereka, dan dari rumah sakit, dan kita tidak mendengar suara apapun dari Abu Mazen (Julukan Mahmud Abbas). Kita juga tidak membaca (di media) kecaman atau penolakan apa pun dari para menteri luar negeri negara Arab, karena Isu Palestina tidak ada dalam agenda mereka kecuali sebagai kartu negosiasi dengan Amerika.


9- Negara-negara yang disebut sebagai negara-negara besar Arab tidak dapat – atau bisa dikatakan, tidak ingin – menghentikan perang atau memberikan bantuan. Sebaliknya, yang mereka cari dan tunggu, dan penantian mereka akan lama, hanyalah momen diumumkannya kekalahan kelompok-kelompok perlawanan dan kemenangan Netanyahu, karenanya gencatan senjata bagi mereka bukan barang yang istimewa.


10- Saya prediksi bahwa keputusan gencatan senjata yang “pincang” ini  tidak menyenangkan sebagian penguasa di Timur Tengah karena hal ini mewakili kemenangan nyata bagi gerakan perlawanan, meskipun aib dan kelemahan dirinya dalam memberikan tingkat terkecil (bantuan) kemanusiaan bagi orang-orang yang dibunuh, di hancur leburkan, terlantar dan kelaparan. 


11- Resolusi yang bersembunyi di balik kesucian bulan Ramadhan, penulisnya lupa bahwa jiwa manusia itu suci di sepanjang tahun, dan pemanggilan perasaan tidak dilakukan pada momen keagamaan, melainkan harus terus tetap menjadi prinsip dalam prinsip peperangan dan pertempuran. Dan bahwa resolusi itu dikeluarkan setelah adanya penghindaran, perundingan, dan hak veto sebanyak tiga kali, tidak ada disebutkan keputusan-keputusan sebelumnya yang berkaitan dengan masalah Palestina atau negara Palestina, yaitu resolusi, seperti yang orang Mesir namakan dalam bahasa Amiyah Mesir, “menghalangi sinar matahari.”


12- Amerika, yang mengesahkan resolusi tersebut, perwakilannya di Dewan Keamanan hampir menangis karena kesedihannya yang luar biasa atas dikeluarkannya resolusi yang pincang ini, dan juru bicara Gedung Putih keluar untuk mengklarifikasi bahwa tidak digunakannya veto tidak berarti perubahan dalam posisi Amerika terhadap Israel, dan Departemen Luar Negeri AS dengan cepat menjelaskan kepada kita bahwa resolusi tersebut tidak mengikat bagi Israel.


Menurut pandangan saya yang sederhana, keputusan tersebut mewakili perubahan baru dalam konflik yang berpindah dari Gaza ke kawasan (Timur Tengah) dan akan berdampak selama bertahun-tahun, seperti yang dikatakan oleh Gallant, Menteri Pertahanan dan anggota Dewan Perang Zionis saat ini, pertempuran ini akan berpindah ke cakrawala yang lebih besar dan lebih luas, dan tidak ada bukti yang lebih jelas tentang hal itu selain keputusan Spanyol, Malta, Slovenia, dan Irlandia yang memutuskan untuk mengambil langkah-langkah untuk mengakui negara Palestina, hal yang dianggap Netanyahu sebagai hadiah untuk Hamas dan bukan untuk rakyat Palestina yang telah berjuang (melawan penjajahan) sejak tujuh dekade.


Selain itu, menurut pendapat saya, bertambahnya kesadaran yang meningkat pasti akan diikuti, mungkin dengan kecepatan yang lebih cepat, dengan cakupan aksi di level Arab dan global, terutama karena sudah jelas bagi semua orang bahwa tentara penjajah tidak lain hanyalah “macan kertas” dan kemampuannya untuk menyelesaikan perang yang berkepanjangan agak diragukan, dan bahwa negara Z10n1s ini tidak akan mampu bertahan tanpa dukungan Amerika Barat dan dukungan Arab Zionis, yang semuanya memandang perlawanan dan rakyat sebagai musuh mereka. Inilah yang akan menjadikan tahun-tahun mendatang lebih panas dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.


Penjajah Israel akan memerlukan waktu puluhan tahun untuk memulihkan strukturnya yang rusak, yang kini runtuh di depan mata semua orang, dan reputasinya, yang telah mencapai titik terendah, terutama reputasinya sebagai negara “militer yang kuat” di samudera militer yang sibuk dengan politik dan perdagangan. Apakah waktu akan menyelamatkannya , atau akankah orang-orang yang ingin menyingkirkan kolonialisme dan tirani dalam satu pukulan telak akan akan mendahuluinya ?


(Diterbitkan oleh arabi21.com tanggal 24 Maret 02:04 siang, referensi: https://bit.ly/3IUViiU diterjemahkan oleh #Khalidmu)


Share: