Pusat Informasi Palestina, terbit: Rabu, 26 November 2025, 13.59.
Kegubernuran Tubas di Tepi Barat utara dibangunkan pada Rabu pagi oleh salah satu operasi militer negara Zionis terbesar dalam beberapa bulan. Operasi tersebut membangkitkan kenangan akan serangan skala penuh yang melumpuhkan kota itu dan kota-kota sekitarnya di bawah jam malam yang ketat dan penggerebekan yang meluas.
Tiga Brigade Beraksi
Menurut surat kabar Yediot Aharonot, tiga brigade negara Zionis berpartisipasi dalam operasi tersebut: Menashe, Shomron, dan Komando. Para analis menilai operasi militer tersebut jauh lebih besar dibandingkan jumlah “orang yang dicari" yang diklaim negara Zionis dalam pencarian mereka.
Pasukan negara Zionis menutup jalan-jalan utama, mengerahkan bala bantuan dan buldozer berat, sementara helikopter Apache terbang di atas Tubas, menembak ke udara. Unit-unit lain menyerbu kota-kota seperti Tammun, di mana satu keluarga dipaksa meninggalkan rumah mereka untuk dijadikan pos militer.
Pemerintah kota Tammun mengonfirmasi bahwa pasukan penjajah mengubah lebih dari 10 rumah menjadi pos militer tertutup, meratakan beberapa jalan utama dengan buldoser, memutus saluran air, dan menutup sepenuhnya pintu masuk kota, mengisolasinya satu sama lain.
Target Geografis
Gubernur Tubas, Ahmed al-Asaad, mengonfirmasi bahwa tentara Zionis telah memberitahu pihak-pihak Palestina bahwa operasi akan berlanjut selama "beberapa hari," meskipun wilayah tersebut – menurutnya – "kosong dari orang yang dicari."
Dalam sebuah pernyataan pers, al-Asaad meyakini bahwa penargetan Tubas terkait dengan lokasi strategis dan kedekatannya dengan Lembah Yordan utara, wilayah yang negara Zionis telah bertahun-tahun berusaha untuk mengokohkan kendali atasnya.
Ekspansi Serangan yang Paralel
Sejalan dengan operasi Tubas, serangan meluas ke kota-kota lain: kamp pengungsi al-Fawwar di selatan Hebron mengalami kampanye penangkapan dan penggerebekan yang intensif.
Penggerebekan juga meluas ke kota Halhul, yang menjadi sasaran tembakan granat kejut dan gas air mata, serta Telluza di timur laut Nablus dan kamp pengungsi al-Amari di selatan al-Bireh, yang mengalami serangkaian penangkapan dan penggerebekan.
Sejak Oktober 2023, serangan negara Zionis di Tepi Barat telah mengakibatkan kematian lebih dari 1.080 warga Palestina dan penangkapan lebih dari 20.000 orang, termasuk 1.600 anak-anak.
Agresi Sistematis
Ham45 menggambarkan operasi tersebut mengungkap luasnya kejahatan sistematis otoritas negara penjajah ekstremis, mengalihkan kota-kota Tepi Barat menjadi "wilayah yang terkepung dan terisolir" yang merupakan perpanjangan dari "rencana aneksasi dan penggusuran."
Al-Jihad Al-Islamy memandang operasi tersebut sebagai "upaya baru untuk mengosongkan Tepi Barat dari penduduknya" dan upaya untuk menciptakan lingkungan politik dan hukum untuk menerapkan undang-undang yang membuka jalan bagi para pemukim untuk merebut wilayah yang lebih luas.
Penulis Yassin Izzuddin menegaskan bahwa operasi ini merupakan bagian dari kampanye berkelanjutan yang dilancarkan oleh militer negara Zionis di Tepi Barat untuk melemahkan perlawanan dan mencegah pertumbuhan serta perkembangannya.
Dalam wawancara dengan Pusat Informasi Palestina, Izzuddin menjelaskan bahwa penjajah biasanya menargetkan dan berfokus pada satu kota atau kamp, tetapi operasi hari ini lebih besar, menargetkan empat kota dan satu kamp: Tubas, Tammoun, Tayasir, Aqaba, dan kamp pengungsi Al-Far'a.
Ia mencatat bahwa Provinsi Tubas telah menyaksikan operasi perlawanan yang menargetkan militer penjajah baru-baru ini. Meskipun mendapatkan gempuran terus-menerus, para pejuang perlawanan tetap efektif. Militer Zionis kini berupaya memperluas cakupan serangannya, dengan harapan dapat memberikan pukulan telak bagi perlawanan.
Menuju kendali penuh atas Tepi Barat
Penulis dan peneliti urusan negara Zionis, Suleiman Bisharat, meyakini bahwa apa yang terjadi di Tubas merupakan "perpanjangan alami dari Operasi Pagar Besi," yang dimulai di Jenin pada akhir tahun 2014 dan bertujuan – menurut perkiraannya – untuk menerapkan keamanan dan kendali politik yang komprehensif atas Tepi Barat utara.
Bisharat menambahkan bahwa pemilihan Tubas secara khusus terkait dengan posisinya sebagai "gerbang menuju Lembah Yordan," sebuah wilayah yang negara Zionis ingin tentukan nasibnya dalam setiap pengaturan di masa mendatang, demikian disampaikannya kepada Al Jazeera.
Realitas Baru
Dalam wawancara eksklusif dengan koresponden kami, analis dan penulis Muhammad Halsa memberikan perspektif tambahan tentang peristiwa tersebut, dengan mengatakan: “Operasi di Tubas bukanlah peristiwa sesaat, juga bukan sekadar pengejaran beberapa individu. Kita menghadapi upaya negara Zionis menciptakan realitas baru di Tepi Barat utara, sebuah realitas untuk mendahului negosiasi yg mungkin terjadi dan memperkuat logika: apa yang dikuasai militer hari ini akan dianeksasi besok. Apa yang terjadi adalah tekanan kompleks yang menyasar tatanan sosial untuk melemahkan ketahanannya dan membuka jalan bagi tahap di mana batas antara keamanan dan politik menjadi kabur.”
Halsa menegaskan bahwa "waktu operasi ini terkait dengan perlombaan di dalam institusi negara Zionis sendiri untuk menunjukkan kemampuannya dalam menerapkan kendali dan menetapkan persamaan baru sebelum perubahan regional atau internasional di masa mendatang."
Tujuan yang Bertumpang Tindih
Sari Orabi, seorang penulis dan analis politik, menyatakan bahwa penjajah Zionis telah secara intensif menargetkan Tepi Barat utara jauh sebelum agresi terhadap Gaza. Bahkan faktanya, wilayah ini telah menjadi pusat peristiwa Palestina sebenarnya sejak 2021, sebelum fokus konfrontasi beralih ke Gaza setelah Operasi "Tufan Al-Aqsa".
Dengan demikian, Orabi menambahkan, penjajah tidak melupakan Tepi Barat utara, karena wilayah ini memiliki karakter kompleks yang selalu menempatkannya di garis depan perhitungan keamanan negara Zionis.
Dalam sebuah pernyataan kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, Orabi menjelaskan bahwa Tepi Barat utara, pada tahap-tahap tertentu, berfungsi sebagai Model Inspiratif untuk operasi perlawanan, yang kemudian berubah selanjutnya menjadi model Penentang Langsung melawan penjajah. Hal ini menempatkan institusi keamanan negara Zionis senantiasa berlomba dengan waktu untuk membubarkan kelompok-kelompok bersenjata di sana.
Karena alasan ini, penjajah terpaksa menghancurkan sebagian besar kamp pengungsi Jenin, Tulkarem, dan Nur Shams, serta terus menekan komunitas yang mendukung mereka melalui kebijakan penggusuran yang masih terus berlaku hingga saat ini.
Ia menambahkan bahwa apa yang terjadi di kamp-kamp ini merupakan model pertama penggusuran massal internal sejak perang 1967, dengan jumlah warga Palestina yang mengungsi melebihi empat puluh ribu. Penjajah menganggap ini sebagai "model sukses" yang sedang dipertimbangkan untuk direplikasi, sehingga mengubah Tepi Barat menjadi lingkungan yang tidak ramah, sejalan dengan visi negara Zionis yang memandang Tepi Barat sebagai kedalaman strategis negara Yahudi dan jantung ideologis gerakan keagamaan ekstremis.
Arabi menekankan bahwa operasi militer negara Zionis di Tepi Barat bukanlah operasi keamanan tradisional, melainkan membawa tujuan strategis dan politik yang mendalam terkait rekayasa masyarakat dan penerapan realitas baru di lapangan. Ini termasuk membentuk kembali kamp-kamp, mengintervensi gaya hidup, dan memaksakan kondisi politik dan sosial kepada warga Palestina.
Pada saat yang sama, operasi-operasi ini diperbarui setiap kali kekhawatiran keamanan dan militer penjajah mengalami pembaruan, dalam kerangka kebijakan yang didasarkan pada penggunaan kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan realitas, dalam jalur terpadu untuk "membentuk kesadaran" dan membentuk kembali lingkungan sosial dengan cara yang melayani proyek pengendalian dan aneksasi.
Diterjemahkan (IC) dari situs Pusat Informasi Palestina, “عدوان الاحتلال على طوباس .. محاولة لفرض سيطرة على بوابة الأغوار” terbit tanggal 26 November 2025, diakses pada tanggal 27 November 2025 16:25, https://palinfo.com/news/2025/11/26/983231/
0 komentar:
Posting Komentar