Youtube Channel

About

Selamat datang di Blog Analis Palestina yang mengkhususkan diri pada opini, penerjemahan informasi dan analisa terkini terkait perkembangan yang terjadi di Palestina dan sekitarnya. Email: khalidmusholla@gmail.com

Kamis, 27 November 2025

Agresi Negara Zionis terhadap Tubas: Upaya Merebut Kendali Gerbang Lembah Yordan

Pusat Informasi Palestina, terbit: Rabu, 26 November 2025, 13.59.

Kegubernuran Tubas di Tepi Barat utara dibangunkan pada Rabu pagi oleh salah satu operasi militer negara Zionis terbesar dalam beberapa bulan. Operasi tersebut membangkitkan kenangan akan serangan skala penuh yang melumpuhkan kota itu dan kota-kota sekitarnya di bawah jam malam yang ketat dan penggerebekan yang meluas.



Tiga Brigade Beraksi


Menurut surat kabar Yediot Aharonot, tiga brigade negara Zionis berpartisipasi dalam operasi tersebut: Menashe, Shomron, dan Komando. Para analis menilai operasi militer tersebut jauh lebih besar dibandingkan jumlah “orang yang dicari" yang diklaim negara Zionis dalam pencarian mereka.


Pasukan negara Zionis menutup jalan-jalan utama, mengerahkan bala bantuan dan buldozer berat, sementara helikopter Apache terbang di atas Tubas, menembak ke udara. Unit-unit lain menyerbu kota-kota seperti Tammun, di mana satu keluarga dipaksa meninggalkan rumah mereka untuk dijadikan pos militer.


Pemerintah kota Tammun mengonfirmasi bahwa pasukan penjajah mengubah lebih dari 10 rumah menjadi pos militer tertutup, meratakan beberapa jalan utama dengan buldoser, memutus saluran air, dan menutup sepenuhnya pintu masuk kota, mengisolasinya satu sama lain.



Target Geografis


Gubernur Tubas, Ahmed al-Asaad, mengonfirmasi bahwa tentara Zionis telah memberitahu pihak-pihak Palestina bahwa operasi akan berlanjut selama "beberapa hari," meskipun wilayah tersebut – menurutnya – "kosong dari orang yang dicari."


Dalam sebuah pernyataan pers, al-Asaad meyakini bahwa penargetan Tubas terkait dengan lokasi strategis dan kedekatannya dengan Lembah Yordan utara, wilayah yang negara Zionis telah bertahun-tahun berusaha untuk mengokohkan kendali atasnya.



Ekspansi Serangan yang Paralel


Sejalan dengan operasi Tubas, serangan meluas ke kota-kota lain: kamp pengungsi al-Fawwar di selatan Hebron mengalami kampanye penangkapan dan penggerebekan yang intensif.


Penggerebekan juga meluas ke kota Halhul, yang menjadi sasaran tembakan granat kejut dan gas air mata, serta Telluza di timur laut Nablus dan kamp pengungsi al-Amari di selatan al-Bireh, yang mengalami serangkaian penangkapan dan penggerebekan.


Sejak Oktober 2023, serangan negara Zionis di Tepi Barat telah mengakibatkan kematian lebih dari 1.080 warga Palestina dan penangkapan lebih dari 20.000 orang, termasuk 1.600 anak-anak.



Agresi Sistematis


Ham45 menggambarkan operasi tersebut mengungkap luasnya kejahatan sistematis otoritas negara penjajah ekstremis, mengalihkan kota-kota Tepi Barat menjadi "wilayah yang terkepung dan terisolir" yang merupakan perpanjangan dari "rencana aneksasi dan penggusuran."


Al-Jihad Al-Islamy memandang operasi tersebut sebagai "upaya baru untuk mengosongkan Tepi Barat dari penduduknya" dan upaya untuk menciptakan lingkungan politik dan hukum untuk menerapkan undang-undang yang membuka jalan bagi para pemukim untuk merebut wilayah yang lebih luas.


Penulis Yassin Izzuddin menegaskan bahwa operasi ini merupakan bagian dari kampanye berkelanjutan yang dilancarkan oleh militer negara Zionis di Tepi Barat untuk melemahkan perlawanan dan mencegah pertumbuhan serta perkembangannya.


Dalam wawancara dengan Pusat Informasi Palestina, Izzuddin menjelaskan bahwa penjajah biasanya menargetkan dan berfokus pada satu kota atau kamp, ​​tetapi operasi hari ini lebih besar, menargetkan empat kota dan satu kamp: Tubas, Tammoun, Tayasir, Aqaba, dan kamp pengungsi Al-Far'a.


Ia mencatat bahwa Provinsi Tubas telah menyaksikan operasi perlawanan yang menargetkan militer penjajah baru-baru ini. Meskipun mendapatkan gempuran terus-menerus, para pejuang perlawanan tetap efektif. Militer Zionis kini berupaya memperluas cakupan serangannya, dengan harapan dapat memberikan pukulan telak bagi perlawanan.



Menuju kendali penuh atas Tepi Barat


Penulis dan peneliti urusan negara Zionis, Suleiman Bisharat, meyakini bahwa apa yang terjadi di Tubas merupakan "perpanjangan alami dari Operasi Pagar Besi," yang dimulai di Jenin pada akhir tahun 2014 dan bertujuan – menurut perkiraannya – untuk menerapkan keamanan dan kendali politik yang komprehensif atas Tepi Barat utara.


Bisharat menambahkan bahwa pemilihan Tubas secara khusus terkait dengan posisinya sebagai "gerbang menuju Lembah Yordan," sebuah wilayah yang negara Zionis ingin tentukan nasibnya dalam setiap pengaturan di masa mendatang, demikian disampaikannya kepada Al Jazeera.



Realitas Baru


Dalam wawancara eksklusif dengan koresponden kami, analis dan penulis Muhammad Halsa memberikan perspektif tambahan tentang peristiwa tersebut, dengan mengatakan: “Operasi di Tubas bukanlah peristiwa sesaat, juga bukan sekadar pengejaran beberapa individu. Kita menghadapi upaya negara Zionis menciptakan realitas baru di Tepi Barat utara, sebuah realitas untuk mendahului negosiasi yg mungkin terjadi dan memperkuat logika: apa yang dikuasai militer hari ini akan dianeksasi besok. Apa yang terjadi adalah tekanan kompleks yang menyasar tatanan sosial untuk melemahkan ketahanannya dan membuka jalan bagi tahap di mana batas antara keamanan dan politik menjadi kabur.”


Halsa menegaskan bahwa "waktu operasi ini terkait dengan perlombaan di dalam institusi negara Zionis sendiri untuk menunjukkan kemampuannya dalam menerapkan kendali dan menetapkan persamaan baru sebelum perubahan regional atau internasional di masa mendatang."



Tujuan yang Bertumpang Tindih


Sari Orabi, seorang penulis dan analis politik, menyatakan bahwa penjajah Zionis telah secara intensif menargetkan Tepi Barat utara jauh sebelum agresi terhadap Gaza. Bahkan faktanya, wilayah ini telah menjadi pusat peristiwa Palestina sebenarnya sejak 2021, sebelum fokus konfrontasi beralih ke Gaza setelah Operasi "Tufan Al-Aqsa".


Dengan demikian, Orabi menambahkan, penjajah tidak melupakan Tepi Barat utara, karena wilayah ini memiliki karakter kompleks yang selalu menempatkannya di garis depan perhitungan keamanan negara Zionis.


Dalam sebuah pernyataan kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, Orabi menjelaskan bahwa Tepi Barat utara, pada tahap-tahap tertentu, berfungsi sebagai Model Inspiratif untuk operasi perlawanan, yang kemudian berubah selanjutnya menjadi model Penentang Langsung melawan penjajah. Hal ini menempatkan institusi keamanan negara Zionis senantiasa berlomba dengan waktu untuk membubarkan kelompok-kelompok bersenjata di sana.


Karena alasan ini, penjajah terpaksa menghancurkan sebagian besar kamp pengungsi Jenin, Tulkarem, dan Nur Shams, serta terus menekan komunitas yang mendukung mereka melalui kebijakan penggusuran yang masih terus berlaku hingga saat ini.


Ia menambahkan bahwa apa yang terjadi di kamp-kamp ini merupakan model pertama penggusuran massal internal sejak perang 1967, dengan jumlah warga Palestina yang mengungsi melebihi empat puluh ribu. Penjajah menganggap ini sebagai "model sukses" yang sedang dipertimbangkan untuk direplikasi, sehingga mengubah Tepi Barat menjadi lingkungan yang tidak ramah, sejalan dengan visi negara Zionis yang memandang Tepi Barat sebagai kedalaman strategis negara Yahudi dan jantung ideologis gerakan keagamaan ekstremis.


Arabi menekankan bahwa operasi militer negara Zionis di Tepi Barat bukanlah operasi keamanan tradisional, melainkan membawa tujuan strategis dan politik yang mendalam terkait rekayasa masyarakat dan penerapan realitas baru di lapangan. Ini termasuk membentuk kembali kamp-kamp, ​​mengintervensi gaya hidup, dan memaksakan kondisi politik dan sosial kepada warga Palestina.


Pada saat yang sama, operasi-operasi ini diperbarui setiap kali kekhawatiran keamanan dan militer penjajah mengalami pembaruan, dalam kerangka kebijakan yang didasarkan pada penggunaan kekuatan yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan realitas, dalam jalur terpadu untuk "membentuk kesadaran" dan membentuk kembali lingkungan sosial dengan cara yang melayani proyek pengendalian dan aneksasi.


Diterjemahkan (IC) dari situs Pusat Informasi Palestina, “عدوان الاحتلال على طوباس .. محاولة لفرض سيطرة على بوابة الأغوار” terbit tanggal 26 November 2025, diakses pada tanggal 27 November 2025 16:25, https://palinfo.com/news/2025/11/26/983231/


Share:

Jumat, 21 November 2025

Ham4s: Penjajah Geser "Garis Kuning" di Gaza, Pelanggaran Terang-terangan terhadap Perjanjian



Gerakan Perlawanan Islam (Ham4s) menyatakan hari Kamis (20/11/2025), bahwa penjajah melakukan pelanggaran terang-terangan dengan terus menerus menggeser garis kuning ke arah barat setiap hari, yang mengakibatkan pengungsian massal warga Palestina.

Gerakan tersebut menambahkan, dalam sebuah pernyataan melalui Telegram, bahwa perubahan garis kuning ini bertentangan dengan peta yang disepakati dalam perjanjian gencatan senjata.


Ham4s meminta para mediator untuk menekan penjajah agar segera menghentikan pelanggaran ini.


Garis kuning adalah batas yang ditarik oleh pasukan penjajah Zionis sebagai bagian dari fase pertama perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober.


Pernyataan Ham4s muncul setelah gelombang baru serangan negara Zionis yang mengakibatkan syahidnya 35 warga Palestina dan puluhan lainnya luka-luka, dengan dalih adanya tembakan yang diarahkan ke pasukan Zionis di luar Garis Kuning, tuduhan yang dibantah oleh Ham4s.



Mengubah Penanda


Sementara itu, Kantor Media Pemerintah di Gaza menyatakan bahwa tentara penjajah Zionis telah mengubah lokasi penanda kuning dan memperluas wilayah kekuasaannya di sebelah timur Kota Gaza hingga 300 meter di desa Shuja'iyya dan Tuffah.


Mereka menambahkan bahwa mereka telah mendokumentasikan sekitar 400 pelanggaran negara Zionis yang mengakibatkan syahidnya dari 300 warga Palestina sejak perjanjian gencatan senjata mulai berlaku.


Kantor Media Pemerintah mendesak para mediator dan penjamin perjanjian untuk mengambil tindakan serius guna menghentikan kejahatan penjajah dan memaksa mereka untuk mematuhi perjanjian gencatan senjata dan protokol kemanusiaan.


Sebaliknya, tentara Israel menyatakan bahwa pasukan Brigade Kfir beroperasi di wilayah Garis Kuning di Jalur Gaza sesuai dengan perjanjian gencatan senjata dan arahan pimpinan politik, melaksanakan misi pertahanan dan berupaya membersihkan wilayah tersebut.


Tentara penjajah menambahkan dalam sebuah pernyataan bahwa pasukan tersebut berupaya menghancurkan apa yang digambarkannya sebagai infrastruktur teroris yang digunakan oleh organisasi-organisasi untuk beroperasi melawan tentara di sana, dan mengklaim telah menemukan landasan peluncuran yang berisi 4 rudal yang ditujukan ke negara Zionis, serta peralatan tempur, alat peledak, senapan, granat tangan, dan seragam militer.


Diterjemahkan (Ch) dari situs Al Jazeera terbit pada 20/11/2025, terakhir diperbarui: 17:04 (Waktu Mekkah), diakses pada 21/11/2025: 08:31.

Share:

Kamis, 11 September 2025

Washington Lepaskan Kedok "Pertahanan" dan Kembali ke Dunia Gunakan Jubah "Perang"

Oleh Moein Manna

Diterbitkan ِAl Jazeera pada 9/9/2025, 08:51 (waktu Mekah)


Pada 6 September 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi "Departemen Perang", yang memicu badai kontroversi karena merupakan kembalinya secara simbolis istilah yang lazim hingga setelah Perang Dunia II.


Nama baru ini, dalam arti eksplisit dan abstraknya, mencerminkan kembalinya logika kekuatan keras sebagai alat utama kebijakan luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa Washington tidak lagi puas dengan bahasa pencegahan atau pertahanan, melainkan berupaya menerapkan persamaan baru melalui kekuatan militer dan diplomasi yang tegas.


Laporan ini mengkaji simbolisme perubahan nama dari "Pertahanan" menjadi "Perang" serta konotasi historis dan politisnya. Juga menjawab pertanyaan: Apakah ini sekadar perubahan kosmetik, atau merupakan reposisi geopolitik? Apa implikasi doktrin baru ini terhadap konflik regional di Timur Tengah?



Simbolisme Perubahan Nama dari Pertahanan menjadi Serangan


Keputusan Trump untuk mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi "Departemen Perang" mengandung konotasi historis dan politis yang mendalam. Nama asli ini pernah digunakan hingga tahun 1947, ketika diubah sebagai bagian dari restrukturisasi lembaga militer setelah Perang Dunia II.


Saat ini, Trump mengganti nama departemen tersebut di tengah meningkatnya ketegangan global, seolah-olah Washington mengumumkan kembalinya logika kekuatan keras (hard power) sebagai alat utama kebijakan luar negerinya.


Presiden AS mengatakan kepada para wartawan setelah menandatangani perintah eksekutif bahwa nama baru tersebut "lebih tepat mengingat kondisi dunia saat ini," dan menambahkan bahwa nama tersebut "mengirim pesan kemenangan" kepada dunia.


Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan pergeseran dalam bahasa politik Amerika, dari bahasa pertahanan menjadi bahasa kemenangan, dan dari logika pencegahan menjadi logika inisiatif ofensif.



Trump tidak dapat secara resmi mengubah nama departemen tanpa persetujuan Kongres, tetapi perintah eksekutif mengizinkan penamaan baru tersebut digunakan sebagai nama kedua untuk Departemen Pertahanan.


Perintah eksekutif tersebut tidak hanya mengubah nama tetapi juga menetapkan gelar "Menteri Perang" di samping "Menteri Pertahanan."


Menteri Pertahanan Pete Hegseth, yang hadir pada penandatanganan perintah eksekutif dan ditugaskan oleh Trump untuk mengubah departemen secara radikal, mengatakan perubahan tersebut "bukan hanya tentang nama, tetapi tentang memulihkan semangat juang."


Hegseth, mantan pembawa acara Fox News, menyambut baik perubahan nama tersebut dan mengunggah video plakat "Menteri Perang" baru yang terpasang di pintu kantornya di Pentagon.


Pencantuman gelar-gelar ini dalam dokumen resmi memberikan legitimasi kelembagaan terhadap pergeseran doktrin militer dan membangun fase baru interaksi antara cabang eksekutif dan militer, di mana "perang" bukan hanya sebuah pilihan, tetapi juga sebuah identitas.


Dalam hal ini, penggantian nama ini bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pengumuman arah strategis baru yang mendefinisikan ulang hubungan antara Amerika Serikat dan dunia melalui lensa konflik, bukan pemahaman.



Implikasi Doktrin Baru bagi Timur Tengah


Dengan pengumuman Washington bahwa Departemen Pertahanan akan mengubah namanya menjadi "Departemen Perang", doktrin militer baru mulai terbentuk di lapangan, khususnya di Timur Tengah.


Pemerintah AS sebelumnya telah mengarahkan pengerahan "kemampuan tambahan" ke wilayah tanggung jawab Komando Pusat, sebuah langkah yang dipandang sebagai penguatan langsung kehadiran militer AS di kawasan tersebut, di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan negara Zionis serta meningkatnya ancaman transnasional.


Menteri Hegseth membenarkan pengerahan ini sebagai upaya untuk "memperkuat postur pertahanan kita di kawasan," tetapi pembenaran ini membawa pesan pencegahan yang jelas yang melampaui batasan pertahanan. Pernyataan ini mengungkap menguatnya gagasan pergeseran doktrin militer dari pertahanan pasif menjadi pencegahan ofensif.


Washington kini memandang kehadiran militer yang besar sebagai cara untuk menciptakan stabilitas melalui kekuatan, alih-alih melalui mediasi atau negosiasi. Strategi baru ini membentuk kembali keseimbangan kekuatan di kawasan dan memberikan tekanan militer langsung kepada kekuatan-kekuatan regional yang ingin memperluas pengaruhnya.



Efektivitas Perubahan


Realitas menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas doktrin baru ini, mengingat kompleksitas situasi regional dan tantangan pencegahan di dunia multipolar.


Dalam konteks eskalasi, Amerika Serikat telah melancarkan serangan militer yang menargetkan tiga fasilitas nuklir Iran dalam upaya mengganggu program nuklir Iran.


Langkah ini, yang termasuk dalam doktrin "perang pre-emptif", dimaksudkan untuk mengirimkan pesan pencegahan yang kuat kepada Teheran. Namun, penilaian awal intelijen AS menunjukkan bahwa serangan-serangan ini "tidak menghancurkan komponen inti program nuklir Iran, melainkan menundanya selama berbulan-bulan."


Penilaian ini menyoroti terbatasnya efektivitas kekuatan militer dalam mencapai tujuan strategis jangka panjang.


Serangan terbatas, meskipun menunjukkan kesiapan untuk menggunakan kekuatan, mungkin tidak cukup untuk mengubah arah program nuklir yang telah mengakar kuat dan bahkan dapat menyebabkan eskalasi yang tidak terduga.



Perdamaian melalui Kekuatan: Doktrin Penangkalan Baru


Dalam penjelasan resmi atas keputusan untuk mengubah nama Departemen Pertahanan, Gedung Putih menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk "memaksakan perdamaian melalui kekuatan." Frasa ini, yang dimuat dalam pernyataan resmi, merangkum doktrin baru yang diadopsi oleh Washington di dunia dan, konsekuensinya, di Timur Tengah.


Amerika Serikat tidak lagi berupaya meredakan ketegangan melalui mediasi atau aliansi tradisional. Sebaliknya, Amerika Serikat mengandalkan penggunaan kekuatan militer sebagai sarana untuk menegaskan kembali prestise internasionalnya, terutama di kawasan di mana kekuatan regional dan internasional bersaing untuk mendapatkan pengaruh.




Inti dari transformasi ini adalah anggaran Departemen Pertahanan yang baru, yang telah melampaui $1 triliun, yang memicu kontroversi luas di dalam Kongres AS. Di antara mereka yang menganggapnya sebagai anggaran "perdamaian" yang bertujuan untuk pencegahan, dan mereka yang menganggapnya sebagai anggaran "perang" yang tidak dapat dibenarkan, muncul pertanyaan tentang kelayakan pengeluaran besar-besaran ini tanpa adanya perang yang komprehensif.


Kontroversi ini mencerminkan perpecahan internal dalam prioritas Washington, antara mereka yang mendorong dominasi militer dan mereka yang menuntut pemikiran ulang strategi. Pengeluaran besar-besaran ini juga menunjukkan bahwa perubahan nama merupakan bagian dari proyek mahal yang membutuhkan investasi besar-besaran dalam persenjataan, teknologi militer, dan penguatan kehadiran militer.


Perubahan nama ini bukan sekadar langkah simbolis; namun memiliki konsekuensi finansial yang sangat besar. Politico, dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 6 September 2025, memperkirakan bahwa biaya amandemen peraturan, pencetakan dokumen resmi, dan pembaruan plat nomor pemerintah dapat mencapai miliaran dolar.


Biaya finansial langsung ini, di samping biaya geopolitik yang diwakili oleh risiko eskalasi, menegaskan bahwa perubahan bukan sekadar perubahan citra, melainkan keputusan strategis yang komprehensif dengan dimensi finansial dan politik yang mendalam.


Mengingat kompleksitas realitas regional, tantangan keseimbangan internasional, dan biaya hegemoni, beberapa pihak memandang strategi baru ini sebagai kembalinya logika kekuatan, sementara yang lain menganggapnya sebagai pergeseran menuju militerisasi politik. Timur Tengah tetap menjadi ajang uji coba sejati bagi doktrin baru ini, yang dapat membentuk kembali kontur pengaruh Amerika selama beberapa dekade mendatang (Aljazeera/Kho)


https://www.aljazeera.net/politics/2025/9/9/%d9%88%d8%a7%d8%b4%d9%86%d8%b7%d9%86-%d8%aa%d8%ae%d9%84%d8%b9-%d9%82%d9%86%d8%a7%d8%b9-%d8%a7%d9%84%d8%af%d9%81%d8%a7%d8%b9-%d9%84%d8%a5%d8%b9%d8%a7%d8%af%d8%a9-%d8%aa%d8%b4%d9%83%d9%8a%d9%84



Share:

Selasa, 05 Agustus 2025

"Kereta Perang Gideon" Rusak di Gaza, dan Militer Negara Zionis Takut Rawa Perang Atrisi

Gaza - Tuntutan Kepala Staf Angkatan Pertahanan negara Zionis, Eyal Zamir, untuk diberikan "kejelasan strategis" tentang masa depan perang di Gaza mencerminkan besarnya kebingungan di dalam institusi keamanan negara Zionis setelah kegagalan Operasi "Kereta Perang Gideon" mencapai tujuannya, demikian analisa Pusat Informasi Palesina pada Senin, 4 Agustus 2025, 13.52.


Sementara momentum militer negara Zionis menurun akibat atrisi dan erosi kemampuan tempur yang terus berlanjut, tanda-tanda perpecahan semakin meningkat antara kepemimpinan politik, yang berpegang teguh pada retorika ketegasan, dan institusi militer yang kini membunyikan alarm akan terjerumus ke dalam perang atrisi yang berkepanjangan. Hal ini menimbulkan dilema strategis yang melampaui kalkulasi militer, melainkan kebuntuan politik internal dan eksternal yang terbuka, mengingat tidak adanya visi realistis untuk "hari setelahnya" di Jalur Gaza.


Zamir menuntut agar pemerintah memberikan militer "kejelasan strategis" dan agar level politik memutuskan tentang kelanjutan perang di Gaza, dengan mengklaim bahwa Operasi Gideon Wagons telah berakhir, menurut Radio Militer negara Zionis pada hari Senin.


Radio tersebut menambahkan bahwa Zamir memperingatkan bahwa kabinet politik-keamanan belum bersidang untuk waktu yang lama dan mengklaim bahwa militer kurang memiliki kejelasan dan tidak menerima perintah serta instruksi yang jelas dari tingkat politik mengenai masa depan perang.


Operasi militer "Gideon Wagons" gagal mencapai tujuannya, yaitu memberikan tekanan militer kepada Hamas agar menyetujui pertukaran tahanan dan gencatan senjata dengan syarat negara Zionis, yang berarti tanpa mengakhiri perang dan melenyapkan Hamas, menurut surat kabar Yedioth Ahronoth hari ini.


Tentara negara Zionis mengumumkan dalam sebuah pernyataan di platform "X" Kamis lalu penarikan Divisi ke-98 dari Jalur Gaza utara, sebagai persiapan untuk apa yang digambarkannya sebagai "misi tambahan" yang tidak disebutkan secara spesifik. Langkah ini dianggap oleh media negara Zionis sebagai indikasi bahwa akhir operasi militer darat "Gideon Wagons" sudah dekat.


Menurut Radio Angkatan Darat negara Zionis, dua dari empat divisi tersebut menjalankan misi tempur di Jalur Gaza utara dan di kota Khan Yunis di selatan, sementara dua divisi lainnya menjalankan peran pertahanan. Hal ini bertepatan dengan keputusan Kepala Staf Angkatan Darat negara Zionis, Eyal Zamir, untuk mengurangi jumlah pasukan cadangan di semua lini sebesar 30%.


Dua pekan lalu, militer negara Zionis mendesak level politik untuk mengambil keputusan tentang bagaimana operasi militer akan berlanjut. Situs web berita Zman Yisrael melaporkan pada saat itu bahwa militer tidak merahasiakan keinginannya untuk memajukan kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata, menggambarkan hal ini sebagai "kebutuhan mendesak untuk merevitalisasi pasukan."



Terkikisnya Kemampuan Militer


"Kendaraan Lapis Baja Gideon", yang mulai beroperasi pada awal Mei, mengakibatkan puluhan kematian dan cedera di kalangan tentara negara Zionis akibat penyergapan militer yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina di Gaza, serta berbagai upaya untuk menawan tentara-tentara negara Zionis.


Media negara Zionis melaporkan kematian setidaknya 40 tentara selama dua bulan terakhir, Juni dan Juli, sementara tujuh tentara bunuh diri bulan lalu, semuanya bertugas di Jalur Gaza selama perang genosida yang sedang berlangsung.


Dalam konteks ini, pakar militer dan pensiunan Brigadir Jenderal Elias Hanna mengatakan bahwa tentara negara Zionis "sedang mengubah strategi dan merotasi pasukan di Jalur Gaza, tetapi hasil akhirnya tetap sama: kegagalan di lapangan dan terkikisnya kemampuan tentara."


Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Hanna menjelaskan bahwa negara Zionis telah beralih ke strategi "Gideon's Wagons" dengan dalih menargetkan para pemimpin perlawanan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa "Divisi ke-98 telah sangat terkuras," entah karena harus mengistirahatkannya untuk persiapan putaran berikutnya, atau karena "kerugian yang diderita telah melampaui kemampuan mereka."


Ia menunjukkan bahwa unit-unit khusus, yang seharusnya beroperasi dalam kerangka misi yang spesifik, "telah mulai bertempur seperti pasukan infanteri biasa, yang telah menyebabkan ketidakpuasan yang signifikan di dalam unit-unit ini, karena misi awal mereka sangat berbeda dalam hal pelatihan dan perlengkapan."


Hanna mencatat bahwa fase selanjutnya mungkin akan menyaksikan perubahan dalam sifat operasi, dengan kemungkinan persiapan untuk kesepakatan politik di bawah meja, terutama dengan kunjungan utusan AS Steve Witkoff ke negara Zionis.


Pakar militer tersebut yakin bahwa gerakan politik tersebut dapat membuka jalan bagi "fase baru operasi atau masuknya negosiasi," yang mencerminkan kesadaran di dalam lembaga keamanan negara Zionis bahwa kemenangan militer penuh di Gaza tidak mungkin lagi diraih.


Kesepakatan atau Alternatif Militer


Sementara itu, Kepala Staf Pasukan Pertahanan negara Zionis (IDF) diperkirakan akan menyetujui rencana operasional bertahap pada hari Ahad untuk memperluas pertempuran di Gaza. Menurut surat kabar berbahasa Ibrani, Haaretz, rencana ini, yang nantinya akan disampaikan ke tingkat politik, mencakup perluasan operasi militer hingga mencakup wilayah-wilayah sensitif di Gaza dan area kamp pengungsi pusat, tempat IDF sejauh ini menahan diri dari manuver darat karena khawatir akan adanya tawanan negara Zionis di sana.


Radio Angkatan Darat negara Zionis juga melaporkan hari ini bahwa Zamir "mendorong tercapainya kesepakatan, karena situasi dapat dilunakkan dan upaya dilakukan untuk mencapainya dengan cara apa pun." Namun, menurut radio tersebut, posisi militer adalah bahwa "kendali atas wilayah-wilayah di sepanjang perbatasan Gaza harus dilanjutkan dalam perjanjian apa pun di masa mendatang." Di sisi lain, militer mengklaim bahwa "bahkan jika kami diminta untuk membuat konsesi, kami akan mampu melunakkan sikap."


Radio tersebut menambahkan bahwa Zamir memperingatkan dalam "diskusi tertutup" bahwa tetap berada di Jalur Gaza "membahayakan pasukan IDF dan akan menguntungkan Hamas, di samping semakin menipisnya kekuatan militer." Jika kesepakatan tidak tercapai, Zamir bermaksud mengajukan dua alternatif kepada tingkat politik.


Alternatif pertama adalah "menjajah seluruh Jalur Gaza, yang ditentang IDF." Menurut Zamir, "menjajah seluruh Jalur Gaza memungkinkan secara militer dan akan memakan waktu beberapa bulan, tetapi pembersihan wilayah tersebut, baik di atas maupun di bawah tanah, bisa memakan waktu bertahun-tahun."


Alternatif kedua yang direkomendasikan oleh IDF adalah "pengepungan dan atrisi" melalui posisi-posisi yang mengendalikan Jalur Gaza. "Jika tidak, alih-alih melelahkan Hamas, kita justru akan kelelahan di kemudian hari dengan perang gerilya."


Dalam konteks ini, pakar militer dan pensiunan Kolonel Nidal Abu Zeid mengesampingkan kemungkinan perluasan operasi militer yang dibahas oleh Kepala Staf penjajah. Ia menjelaskan bahwa setiap divisi yang ditarik membutuhkan, sesuai kebiasaan militer, periode tidak kurang dari tiga hingga empat bulan untuk membangun kembali organisasi dan pelatihannya, serta memulihkan kondisi psikologis dan kesiapan tempurnya.


Ia menekankan bahwa yang terjadi adalah rotasi unit dan divisi militer di Gaza, bukan penggantian atau penambahan unit baru. "Oleh karena itu, penjajah tidak akan dapat mengerahkan kembali pasukan ini setidaknya selama empat bulan."


Mengenai pernyataan yang dibuat oleh para menteri dalam pemerintahan penjajah, seperti Menteri Keuangan yang ekstremis Bezalel Smotrich dan Menteri Warisan, mengenai niat untuk menduduki seluruh Jalur Gaza, Abu Zeid mengatakan bahwa pernyataan tersebut "tidak didasarkan pada penilaian militer, melainkan berasal dari motif politik yang tidak memahami skala operasi dan kerugian di lapangan."


Ia menambahkan, "Mereka yang memahami realitas di lapangan adalah personel militer, dan merekalah yang memahami besarnya dilema dan kebuntuan militer yang telah dicapai militer di Gaza. Inilah sebabnya retorika para politisi semakin keras, sementara para pemimpin militer semakin berhati-hati."


Abu Zeid mengutip pernyataan komandan Komando Selatan Angkatan Darat negara Zionis, yang mengatakan bahwa tentara Zionis "terlibat dalam operasi militer yang panjang dan kompleks," serta pernyataan komandan Brigade Givati, yang menyerukan dihentikannya berbagai operasi dan agar tidak dilanjutkan. Ia juga mengutip pernyataan Zamir sendiri, yang mengakui bahwa "kendaraan lapis baja Gideon telah lelah mencapai tujuannya."


Ia melanjutkan, "Kita menghadapi perpecahan yang jelas antara politisi yang menginginkan operasi berlanjut, dan personel militer yang menyadari keseriusan situasi. Operasi telah mencapai puncaknya dan tidak mungkin lagi dilanjutkan, karena biaya yang harus ditanggung tentara negara Zionis akan terlalu tinggi."


Tidak Ada Jangka Waktu untuk Mengakhiri Perang


Ahmad Atawneh, direktur Vision Center for Political Development, meyakini bahwa berakhirnya Operasi Gideon mencerminkan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diumumkan oleh militer negara Zionis di awal operasi.


Dalam wawancara dengan Al-Araby Al-Jadid, ia menunjukkan bahwa "berkurangnya kehadiran militer negara Zionis di Jalur Gaza merupakan hasil dari beberapa faktor." Faktor yang paling menonjol, menurut Atawneh, adalah bahwa "penjajah telah menyebabkan kerusakan yang meluas dan tidak lagi membutuhkan pasukan besar di lapangan."


Atawneh menilai bahwa "operasi yang berlangsung lebih dari tiga bulan tersebut tidak mampu menyelesaikan situasi di lapangan. Perlawanan masih aktif dan para tawanan masih berada di tangan mereka, yang merupakan pukulan telak bagi narasi penjajah, yang mendorong kemungkinan diakhirinya perang melalui jalur militer ini."


Ia menunjukkan bahwa penjajah "telah menghabiskan perangkat tradisionalnya di Gaza dan tidak lagi mampu melanjutkan pendekatan yang sama tanpa mencapai prestasi politik atau militer, yang menempatkan kepemimpinan negara Zionis dalam dilema yang jelas dalam menghadapi pertanyaan tentang hari setelah perang."


Ia menjelaskan bahwa kepemimpinan ini "tidak lagi memiliki visi untuk memerintah Jalur Gaza secara politik maupun keamanan, tidak menerima kembalinya kekuasaan Hamas, dan belum berhasil memulihkan Otoritas Palestina."


Atawneh menambahkan bahwa penjajah telah gagal menghasilkan kelompok Palestina alternatif yang dapat diajak bekerja sama untuk memerintah Gaza, dan "semua formula alternatif yang diusulkan, seperti gagasan kota kemanusiaan (di atas reruntuhan Rafah) atau zona aman, belum melampaui ranah gagasan teoritis yang tidak praktis."


Ia yakin bahwa penjajah terjebak secara politik dan di lapangan, sementara komunitas internasional tidak mampu memberikan solusi praktis karena dukungan terbuka Amerika terhadap negara Zionis dan ekstremisme pemerintah negara Zionis, yang membuat akhir perang berdarah ini mustahil dicapai dalam waktu dekat. (Palinfo/Kho)



Share:

Kamis, 24 Juli 2025

Bagaimana Cara Kita Hentikan Kelaparan di Gaza?

Kebijakan Kelaparan: Alat Utama dalam Proyek Genosida


Kelaparan yang diderita warga Gaza saat ini dalam genosida yang diterapkan kepada mereka bukanlah suatu kebetulan. Melainkan, ini merupakan bagian dari kebijakan genosida yang bertujuan untuk menundukkan dan membuka jalan bagi pengusiran warga Gaza dari tanah air mereka, demikian pendapat Sari Urabi, seorang penulis Palestina di Al Jazeera 22 Juli 2025 jam 00:36 (waktu Makkah). 


Dalam rapat kabinet politik dan keamanan negara Zionis, saat diskusi mengenai rencana negara Zionis untuk memajukan perang genosida menuju hasil yang menentukan dan mencapai tujuan strategisnya, di saat gagasan seperti penjajahan penuh, atau apa yang mereka sebut koridor kemanusiaan, menjadi subjek perselisihan antara tingkat politik dan militer, Netanyahu mengusulkan untuk memperketat blokade di Jalur Gaza, dengan bertaruh, berdasarkan sejarah profesional dan politiknya, bahwa hal ini saja yang akan menundukkan Ham4s.


Pernyataan Netanyahu, dalam konteks diskusi dalam negeri tentang pengetatan blokade, tampak mengejutkan. Blokade sudah berlaku di Jalur Gaza, yang berarti yang ia maksud adalah larangan mutlak atas pasokan makanan yang terbatas dan dijatah bagi warga Gaza selama berbulan-bulan perang.


Sekarang dapat dikatakan bahwa kelaparan, yang telah menjadi senjata genosida sejak hari pertama, berkembang secara komprehensif dan holistik—sampai-sampai warga Gaza bahkan tidak lagi memiliki pakan ternak untuk digiling dan dipanggang, seperti yang mereka lakukan pada bulan-bulan sebelumnya selama kebijakan kelaparan—untuk mendorong genosida ke arah keputusan yang menentukan, dalam perjalanan untuk menyempurnakan tujuannya.


Selain kebijakan pengusiran, pembunuhan, dan pengeboman yang terus berlanjut, genosida bersenjata secara bersamaan merayap semakin dalam ke wilayah tengah, menciptakan zona penyangga baru yang mengisolasi Deir al-Balah dari wilayah Mawasi. Hal ini terjadi di saat para negosiator negara Zionis bermanuver dengan peta penarikan, untuk memastikan bahwa dalam semua kasus, lahan tetap terbuka bagi pembentukan apa yang disebut zona transit kemanusiaan, yaitu kamp konsentrasi Nazi yang menjadi kunci pemindahan paksa (yang mereka sebut sukarela). Zona-zona ini berupaya mengisolasi warga Palestina berdasarkan afiliasi politik, dengan tujuan mengisolasi individu yang tergabung atau mendukung faksi-faksi perlawanan dan keluarga mereka, meskipun mereka tidak aktif di sayap militer faksi-faksi tersebut.


Sementara itu, pusat-pusat distribusi bantuan, di bawah naungan Yayasan Kemanusiaan Gaza, terus menerapkan kebijakan isolasi sosial terhadap warga Gaza, mencelupkan makanan ke dalam darah, menjadikan warga Gaza yang mencari bantuan sebagai mangsa pembantaian. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan lebih banyak teror dan kepanikan, memperkuat motivasi untuk meninggalkan Gaza pada waktu yang tepat, dan meningkatkan kebencian sosial terhadap perlawanan.


Yang tak kalah pentingnya, tujuan organisasi ini adalah menyediakan propaganda dan perlindungan hukum bagi kelanjutan perang dan kelaparan, dengan dalih diperbolehkannya bantuan bisa sampai melalui organisasi tersebut. Kebijakan ini tak terpisahkan dari mempersenjatai milisi lokal yang memiliki hubungan dengan agenda penjajah, yang militer penjajah menyediakan tempat berlindung yang aman kepadanya. Melalui milisi-milisi ini, tentara penjajah berupaya untuk semakin memecah belah masyarakat Gaza, mengepung perlawanan, dan mendiversifikasi pilihan strategi kolonial negara Zionis terhadap Jalur Gaza.


Kebijakan kelaparan beroperasi dalam kondisi objektif yang memungkinkannya untuk diwujudkan, dipertahankan, diperluas, dan diperpanjang. Hal ini terutama disebabkan oleh partisipasi publik Amerika Serikat dalam kebijakan ini melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza, yang dimulai dengan pengumuman AS tentang pembentukan sistem baru untuk memberikan bantuan kepada warga Palestina di Gaza melalui perusahaan-perusahaan swasta pada awal Mei tahun ini. Yayasan ini kemudian dipimpin oleh Johnnie Moore, seorang pendeta Kristen evangelis Amerika yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat evangelis di Gedung Putih selama masa jabatan pertama Presiden Donald Trump.


Amerika Serikat dengan demikian secara langsung berkontribusi terhadap kebijakan kelaparan, yang menyerukan untuk melampaui propaganda perselisihan dan pertentangan antara Gedung Putih dan pemerintahan Benjamin Netanyahu mengenai kebijakan genosida di Jalur Gaza.


Eropa terus-menerus memberikan dalih bagi kebijakan kelaparan, baik melalui langkah-langkah yang ragu-ragu untuk menghukum negara Zionis maupun melalui propaganda yang memberi peluang bagi kebijakan kelaparan tersebut untuk berkembang.


Pada 10 Juli, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaya Kallas, mengumumkan bahwa Uni Eropa telah mencapai kesepakatan dengan negara Zionis "untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, termasuk menambah jumlah truk bantuan, membuka gerbang perbatasan, dan membuka kembali rute bantuan." Namun, yang terjadi selanjutnya justru sebaliknya: kebijakan kelaparan diperkuat, yang menyebabkan kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengakibatkan kematian mendadak.


Sementara itu, pernyataan Barat tidak berpengaruh dalam mengubah kebijakan negara Zionis, termasuk pernyataan terbaru yang dikeluarkan pada 21 Juli oleh 25 negara, termasuk Inggris, Australia, Prancis, Italia, Jepang, Kanada, dan beberapa negara Eropa lainnya, yang menyerukan diakhirinya perang di Gaza.


Ia mengatakan, "Model pengiriman bantuan yang dilakukan pemerintah negara Zionis berbahaya, memicu ketidakstabilan, dan merampas martabat manusia rakyat Gaza." Ia menambahkan, "Penolakan pemerintah negara Zionis untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang dasar kepada penduduk sipil tidak dapat diterima."


Pernyataan dari sejumlah negara Eropa terus berlanjut dengan nada serupa selama berbulan-bulan perang. Dampaknya tidak berbeda ketika Inggris, bersama Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Norwegia, mengumumkan pada 10 Juni bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi kepada Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich atas pernyataan "ekstremis dan tidak manusiawi" terkait situasi di Jalur Gaza, menurut pernyataan bersama para menteri luar negeri kedua negara tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan kelaparan merupakan keputusan yang dibuat oleh pemerintahan Benjamin Netanyahu dan diawasi oleh militer penjajah negara Zionis. Hal ini menjadikan pernyataan dan keputusan semacam ini lebih seperti pernyataan moral untuk tujuan propaganda dan politik, yang pada akhirnya mengarah pada kelanjutan kebijakan kelaparan dalam kerangka genosida komprehensif.


Dalam konteks yang sama, perlu dicatat bahwa kasus yang diajukan ke Mahkamah Internasional, yang menuduh negara Zionis melakukan genosida, dan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan ini tidak memiliki efek apapun dalam praktik genosida negara Zionis, yang pada gilirannya tetap tidak tergoyahkan oleh hukuman. Hal ini menunjukkan kegagalan seluruh sistem internasional, termasuk aspek hukum dan peradilannya, yang karenanya rakyat Gaza membayar harga yang sangat mahal saat ini, sebagaimana yang selalu dibayar oleh rakyat Palestina.


Kondisi objektif terpenting bagi kecenderungan genosida menuju kelaparan langsung dan nyata adalah kurangnya kemauan regional, baik di kawasan negara-negara Arab maupun Islam, untuk melawan hegemoni absolut negara Zionis, yang meluas melampaui Jalur Gaza hingga agresi langsung terhadap Lebanon dan Suriah, di samping penguatan kebijakan yang mengalihkan Tepi Barat menjadi lingkungan yang mengusir penduduknya.


Ini berarti bahwa membiarkan negara Zionis memperpanjang genosida terhadap warga Palestina di Gaza selama periode yang panjang ini telah memungkinkannya mengubah Jalur Gaza menjadi basis untuk secara praktis mendeklarasikan dirinya sebagai kekuatan kuasi-imperial di kawasan tersebut. Namun, genosida yang berlangsung lebih dari 21 bulan tersebut tidak mendorong kekuatan-kekuatan regional, khususnya negara-negara Arab di sekitar Palestina, negara-negara Teluk, dan Turki, untuk mengambil tindakan, dan transisi mengerikan menuju kelaparan yang mengerikan ini juga tidak menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak. Perluasan gangguan  negara Zionis ke luar batas-batas Palestina yang dijajah seperti ke Lebanon dan Suriah juga tidak mendorong mereka untuk bertindak berdasarkan kebijakan komprehensif yang memandang ancaman negara Zionis melampaui visi sempit dan terbatas negara-negara dan rezim regional.



Bagaimana kelaparan dapat dihentikan?


Ketika membahas negara-negara Arab dan Islam, penting untuk mengingat keputusan KTT Arab dan gabungan negara Islam di Riyadh, yang pernyataan akhirnya, pada 11 November 2023, menyerukan "pengiriman bantuan yang segera, berkelanjutan, dan memadai ke Jalur Gaza." KTT berikutnya, juga di Riyadh, menegaskan kembali keputusan para pendahulunya. Hal ini menuntut semua negara Arab dan Islam untuk bertanggung jawab atas kegagalan mereka dalam mengimplementasikan keputusan yang mereka umumkan bersama di KTT OKI tersebut.


Apakah negara-negara Arab dan Islam mengumumkan keputusan yang tidak dapat mereka implementasikan? Atau apakah mereka, pada gilirannya, hanya berpura-pura untuk menunjukkan posisi retoris yang tidak memiliki dampak secara praktikal?


Tak perlu dikatakan lagi, faktor terpenting yang menopang kebijakan genosida dan kelaparan adalah sikap negatif Arab. Hal ini terlepas dari alasan negatifnya, dan terlepas dari semua yang dapat dikatakan tentang kurangnya dampak genosida yang sedang berlangsung terhadap hubungan normal dan perjanjian damai, penyebaran propaganda yang memusuhi perlawanan Palestina, dan penutupan ruang publik bagi massa dan rakyat Arab untuk melakukan apa pun yang akan menekan mereka, atau setidaknya memperkuat bias moral mereka yang berpihak kepada Palestina yang sedang menghadapi genosida.


Dalam hal ini, perlu dikatakan bahwa masalahnya bukanlah pemberian bantuan. Jika ranah Arab dan Islam dibuka untuk sumbangan; bangsa-bangsa Arab termiskin akan memotong makanan dari mulut anak-anak mereka dan mengirimkannya kepada warga Gaza. Namun, masalahnya terletak, pertama, dalam mendatangkan bantuan ini, kedua, dalam upaya menghentikan genosida, dan ketiga, dalam memberikan dukungan bagi perlawanan Palestina, yang menderita akibat blokade, pengabaian, distorsi, dan pemaparan. Terlepas dari sikap terhadap perlawanan ini, baik berdasarkan perangkat perjuangan, fondasi intelektual, maupun proyek politiknya, membiarkan genosida warga Gaza telah berubah menjadi genosida simbolis dan politis terhadap seluruh dunia Arab, akibat penegasan hegemoni negara Zionis yang berlebihan atas wilayah ini.


Solusinya, dalam hal ini, adalah solusi dari negara-negara Arab, terutama dengan menumpuknya bantuan di sisi perbatasan Mesir dengan Jalur Gaza. Solusi ini melibatkan penerapan solusi Arab untuk melaksanakan keputusan yang diambil oleh negara-negara Arab dan Islam. Tentu saja, negara Zionis tidak akan mempertaruhkan hubungannya dengan beberapa negara Arab, juga tidak akan menyatakan perang terhadap aliansi Arab dan Islam yang menyatakan dirinya akan memaksa masuknya bantuan.


Pemerintah Arab juga dapat bermanuver kepada rakyatnya dan membuka ruang publik bagi mereka untuk mengekspresikan kemarahan mereka terhadap kebijakan genosida dan kelaparan, serta simpati mereka terhadap Palestina. Hal ini dapat membantu pemerintah-pemerintah tersebut memperluas cakupan tindakan mereka dan meyakinkan Amerika Serikat tentang perlunya mengakhiri kondisi kelaparan saat ini (Aljazeera/Kho).







Share:

Selasa, 06 Mei 2025

Analisa: Apa Makna Blokade Udara Menyeluruh terhadap Israel?



Kelompok Houthi mengumumkan dalam sebuah pernyataan pada hari Ahad (4/5/2025), bahwa mereka berupaya untuk memberlakukan "blokade udara menyeluruh" terhadap Israel dengan cara berulang kali menargetkan bandara-bandaranya. Gerar Dib, Profesor Pemikiran Politik di Universitas Lebanon menafsirkan istilah tersebut dalam artikel yang diterbitkan Aljazeera Net pada 5/5/2025.


Yahya Saree, juru bicara militer kelompok tersebut, mengatakan: "Kami menyerukan kepada maskapai penerbangan internasional untuk membatalkan semua penerbangan ke Israel guna melindungi keselamatan pesawat dan pelanggan mereka."


Hari Ahad, 4 Mei, terjadi serangkaian kejutan cepat, yang paling menonjol adalah rudal balistik yang diluncurkan oleh gerakan Ansarullah dari Yaman, yang melewati empat sistem pertahanan udara di Tel Aviv dan mendarat di Bandara Ben Gurion. Maskapai penerbangan asing mengumumkan penangguhan penerbangan ke Israel, menurut Channel 12 Israel.


Rudal ini telah mengguncang petinggi nasional Israel, dengan Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz mengancam akan memberikan respons "tujuh kali lipat" terhadap jatuhnya rudal yang ditembakkan dari Yaman di dekat Bandara Ben Gurion. Sementara itu, Benny Gantz, pemimpin Partai Persatuan Nasional Israel, menyerukan respons keras dari Teheran.


Ini bukan rudal pertama yang diluncurkan oleh Houthi. Serangan Yaman terhadap Israel dimulai pada 15 September 2024, dengan dalih mendukung rakyat Palestina mengingat kejahatan Israel terhadap Jalur Gaza.


Nampaknya, rudal balistik ini merupakan tantangan langsung terhadap eskalasi yang diumumkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Kamis, 1 Mei, ketika ia memberi lampu hijau bagi tentaranya untuk memperluas operasi militer di dalam Jalur Gaza.


Tidak diragukan lagi bahwa rudal tersebut membawa banyak pesan, ke lebih dari satu arah. Oleh karena itu, kita dapat mengusulkan persamaan baru: "Apa yang terjadi setelah rudal Ben Gurion tidak akan sama dengan sebelumnya."


Di luar ancaman yang dikeluarkan oleh Menteri Katz dan reaksi berturut-turut di Israel, rudal balistik ini membawa banyak pesan yang dapat melampaui target Houthi dalam membela Palestina. Serangan itu mampu menembus pertahanan udara Israel dan Amerika, dan mengenai sasaran dengan akurat.


Ini bertepatan dengan peluncuran rudal balistik baru oleh Teheran, juga pada hari Ahad, yang mengklaim rudal itu dapat melewati sistem pertahanan antirudal. Apakah ini rudal yang sama yang ditembakkan Houthi ke Bandara Ben Gurion?


Perkembangan penting hari Ahad menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas pernyataan yang dikeluarkan oleh pasukan AS yang ditempatkan di wilayah tersebut melalui kapal induk mereka, dan kelayakan aksi berbagai serangan udara di Yaman selama lebih dari sebulan.


Rudal Ben Gurion mengungkap kepada opini publik Israel, Amerika, dan Arab kepalsuan laporan yang dikeluarkan oleh pimpinan AS, yang selalu menegaskan bahwa rudal Yaman tidak mengenai kapal induknya, meskipun Houthi hampir setiap hari menargetkannya.


Siapa yang tahu, mungkin F-18 Super Hornet milik kapal induk USS Harry Truman yang dikabarkan jatuh di Laut Merah pada Senin, 28 April, ditembak jatuh oleh rudal Houthi?


Setelah rudal Ben Gurion, tidak ada yang mustahil, meskipun ancaman Israel sangat besar. Hal ini menegaskan kesia-siaan serangan Amerika, yang sejauh ini tidak mampu menghalangi Houthi demi mendukung Palestina.


Namun, yang perlu diperhatikan adalah pernyataan Benny Gantz, yang menyerukan tanggapan keras, kali ini terhadap Teheran. Tidak diragukan lagi bahwa kelompok Houthi, meskipun memiliki pengambilan keputusan yang independen, terkait dengan Iran dalam hal pelatihan, pendanaan, dan bahkan persenjataan, sebagaimana dikonfirmasi oleh lebih dari satu pejabat Iran dan Houthi.


Oleh karena itu, Gantz yakin bahwa melakukan serangan terhadap Houthi akan sia-sia, terutama karena tidak ada operasi darat yang direncanakan di Yaman oleh koalisi Amerika, ditambah dengan penolakan Arab untuk berpartisipasi dalam petualangan semacam itu.


Gantz melanjutkan dengan mengatakan, Sumber tersebut terkait langsung dengan negosiasi nuklir AS-Iran, yang mana Israel telah menyatakan penentangan kerasnya pada lebih dari satu kesempatan, melalui Netanyahu.


Ia adalah pendukung diluncurkannya serangan sengit terhadap Teheran, yang tidak hanya menargetkan proyek nuklirnya tetapi juga kemampuan dalam mendanai gerakan perlawanan di kawasan tersebut, terutama gerakan Ansarullah.


Israel yakin bahwa negosiasi ini tidak ada gunanya, karena waktu ada di pihak Iran, karena terus memasok senjata ke Yaman. Hal ini menegaskan urgensi untuk melakukan serangan terhadap rezim di Teheran.


Namun, pemerintah AS memiliki perhitungan yang berbeda, tidak terbatas pada visi Israel, tetapi lebih pada apa yang dianggapnya penting di kawasan tersebut: menetapkan kebijakan untuk memaksakan "keseimbangan," dengan Iran sebagai salah satu kekuatan penting ini. Laporan Amerika percaya bahwa mengalahkan Iran akan memperkuat kehadiran Turki di kawasan tersebut, dan peristiwa yang terjadi di Suriah adalah contoh utama dari hal ini.


Pembahasan tentang peluncuran serangan terhadap Iran menjadi rumit bersamaan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengumumkan penandatanganan perjanjian kemitraan komprehensif di tingkat ekonomi dan militer, berlaku selama 20 tahun.


Hal ini mempersulit langkah menuju perang langsung dengan Iran dan mendorong Rusia untuk meningkatkan persyaratan negosiasinya dengan Presiden AS Donald Trump, yang sedang terburu-buru untuk menghentikan perang di Ukraina.


Harusnya tidak cukup terhenti  pada fenomena kawah sedalam 25 meter akibat rudal atau gangguan sementara lalu lintas udara Israel, tetapi lihat implikasinya dalam konteks kemampuan Yaman untuk memberlakukan blokade laut, dan sekarang blokade udara skala penuh, terhadap Israel. Hal ini mungkin mendorong Netanyahu untuk mempertimbangkan secara serius bukan untuk membalas, tetapi menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan dan medis ke Jalur Gaza yang terkepung selama berbulan-bulan.


“Hal ini mungkin mendorong Netanyahu untuk mempertimbangkan secara serius bukan untuk membalas, tetapi menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan dan medis ke Jalur Gaza yang terkepung selama berbulan-bulan.”


Ancaman Amerika dan Israel terhadap Yaman tidak ada gunanya, karena medan pegunungan Yaman yang kompleks mempersulit tugas melakukan serangan udara. Rupanya, Houthi telah menyebarkan sistem rudal mereka di lebih dari satu wilayah, sehingga menyulitkan pesawat untuk menyerang mereka. Mereka juga memiliki sistem rudal balistik nonkonvensional yang mampu menembus pertahanan udara dan mengenai target mereka.


Inilah sebabnya mengapa banyak pengamat percaya bahwa tidak peduli seberapa intens serangan udara dan berapa banyak yang mengenai kilang minyak, pelabuhan, bandara, dan lokasi lainnya, mereka tentu tidak memiliki kapasitas pencegahan untuk melawan serangan rudal Houthi, yang akan terus berlanjut. Hal ini bermula dari sifat Houthi dan kesiapan mereka untuk perang berkepanjangan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Houthi tidak akan bisa dicegah kecuali dengan cara tercapainya penyelesaian permasalahan di Gaza dengan memulangkan warga Gaza ke rumah dan daerah asal mereka.


Pengumuman Houthi tentang "zona larangan terbang menyeluruh" di atas Israel merupakan langkah eskalasi yang bertujuan untuk menekan Israel agar menghentikan operasinya di Gaza dengan mengancam keamanan udaranya dan mengganggu lalu lintas udara. Perkembangan ini mengancam akan memperluas konflik dan membuka front baru, yang memerlukan tindakan diplomatik yang mendesak untuk menahan eskalasi.


Israel tidak memiliki banyak pilihan militer selain melancarkan serangan udara, seperti yang sedang dilakukan AS saat ini, untuk menghentikan peluncuran rudal dari Yaman. Namun, Israel hanya menghadapi satu solusi: TERPAKSA -tidak peduli berapa lama perang berlangsung - untuk menerima persyaratan negosiasi, daripada terlibat dalam perdebatan media yang tidak berarti dengan negara-negara yang ingin mencapai penyelesaian demi keuntungan semua pihak, terutama Qatar.


Oleh karena itu, tanggapan "tujuh kali lipat" maupun tanggapan "keras" terhadap Teheran TIDAK AKAN mencapai tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, hanya penyelesaian dan tawaran konsesi oleh pemerintah sayap kanan Israel yang akan melindunginya dari rudal Houthi, dan mungkin rudal lainnya dalam waktu dekat (Ajazeera/Kho)


Sumber:

https://www.aljazeera.net/opinions/2025/5/5/%D9%85%D8%A7%D8%B0%D8%A7-%D9%8A%D8%B9%D9%86%D9%8A-%D9%81%D8%B1%D8%B6-%D8%AD%D8%B5%D8%A7%D8%B1-%D8%AC%D9%88%D9%8A-%D8%B4%D8%A7%D9%85%D9%84-%D8%B9%D9%84%D9%89


Share: