Menara-menara Masjid yang Bisu: Gaza Berjuang Menghidupkan Kembali Syiar Ramadhan Pasca Kehancuran Masjid-masjidnya
Palinfo - Rabu 5 Maret 2025 jam 08:55 pagi.
Sumber foto: Palinfo
Gaza - Di tengah kehancuran besar-besaran yang ditinggalkan oleh perang Israel terhadap Gaza, warga masyarakat menghadapi penderitaan spiritual yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan datangnya bulan suci Ramadhan, karena melaksanakan aktifitas ibadah khususnya shalat berjamaah dan shalat tarawih, menjadi hal yang sangat sulit.
Dengan dihancurkannya lebih dari 1.109 masjid oleh penjajah, baik secara keseluruhan maupun sebagian, seluruh desa-desa dan perkampungan di Jalur Gaza telah kehilangan masjid, yang memaksa warga untuk menggunakan solusi alternatif seperti mengadakan shalat di jalan-jalan atau di dalam tenda-tenda di titik-titik penampungan.
“Tidak Ada Suara Adzan”: Ramadan di Gaza Tanpa Menara
Direktur Humas dan Media Kementerian Wakaf, Ekram Al-Mudallal dalam keterangan persnya, membenarkan bahwa rusaknya masjid-masjid yang ada berdampak sangat besar terhadap suasana bulan suci Ramadhan. Pasalnya, banyak warga yang tidak dapat mendengar lagi kumandang adzan karena hilangnya menara dan alat pengeras suara. Akibatnya, mereka harus memperkirakan sendiri waktu berbuka dan sahur karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Ia menambahkan bahwa penjajah sengaja mengebom masjid secara langsung, yang menyebabkan hilangnya tempat ibadah dan terganggunya program ibadah kolektif seperti Tarawih, Qiyam al-Layl, dan buka puasa bersama, yang merupakan bagian penting dari suasana spiritual Ramadhan.
Menurut Kementerian Wakaf; Rudal dan bom milik penjajah menargetkan (1.109) masjid, menghancurkan sebagian atau seluruh masjid, dari (1.244) masjid di Jalur Gaza, dengan persentase (89%), karena jumlah masjid yang hancur total mencapai (834) masjid yang rata dengan tanah dan berubah menjadi puing-puing, dan (275) masjid yang rusak parah sebagian, sehingga tidak layak untuk digunakan, yang secara langsung mempengaruhi pelaksanaan ritual keagamaan dan pendirian sholat.
Dampak Psikologis dan Sosial dari Hilangnya Masjid
Warga Gaza merasa bahwa hilangnya masjid berarti tidak hanya hilangnya tempat ibadah, tetapi juga hilangnya salah satu pusat pertemuan sosial dan spiritual terpenting bagi masyarakat Gaza.
Masjid telah menjadi tempat berlindung bagi masyarakat di masa-masa sulit, dan tempat mempererat hubungan masyarakat melalui majelis zikir, hafalan Al-Quran, dan buka puasa bersama.
Saat ini, dengan lenyapnya manifestasi-manifestasi tersebut, penduduk hidup dalam keadaan terisolasi secara spiritual dan kehilangan suasana keagamaan yang biasa mereka nikmati.
Ruang Sholat Darurat Tanpa Listrik dan Tempat Wudhu
Dalam upaya meringankan krisis, Al-Mudallal menjelaskan bahwa kementerian telah mampu mendirikan sejumlah mushola darurat dengan menggunakan tenda dan kayu yang tersedia, khususnya di kamp-kamp penampungan, namun mushola-mushola ini sangat kekurangan layanan dasar, seperti tempat berwudhu, penerangan, dan air bersih.
Ia menjelaskan bahwa sejumlah besar wilayah pemukiman sekarang sama sekali tidak memiliki masjid, yang membuat pendirian tempat alternatif untuk beribadah menjadi sangat sulit, mengingat kurangnya peralatan, tidak adanya listrik, dan agresi yang masih terus berlangsung.
“Penargetan Sistematis”: Menghapus Identitas Keagamaan Warga Gaza
Al-Mudallal menegaskan bahwa penargetan masjid bukan semata efek samping akibat perang, tetapi itu merupakan bagian dari kebijakan sistematis yang bertujuan menghapus identitas keagamaan warga Gaza dan menambah penderitaan warga masyarakat.
Ia memperingatkan bahwa Jalur Gaza saat ini kekurangan perangkat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan, dan bahkan menara yang tersisa tidak berfungsi karena pemadaman listrik, seraya menambahkan bahwa kondisi cuaca yang sulit semakin mempersulit upaya untuk membangun ruang shalat darurat yang layak.
“Suara Azan tidak akan Hilang”: Pesan Keteguhan dari Gaza
Meski menghadapi berbagai tantangan, warga Gaza menegaskan bahwa suara adzan tidak akan lenyap dari ingatan mereka, dan akan tetap hadir di hati dan jiwa mereka meski menara masjid menghilang. Dalam setiap kali shalat yang dilakukan di jalan-jalan, atau di dalam tenda kecil, ada pesan yang jelas: “Tidak peduli seberapa banyak masjid kita dihancurkan, iman kami akan tetap lebih kokoh daripada perang.”(KHO)
—-
Sumber
https://palinfo.com/news/2025/03/05/942137/