Youtube Channel

About

Selamat datang di Blog Analis Palestina yang mengkhususkan diri pada opini, penerjemahan informasi dan analisa terkini terkait perkembangan yang terjadi di Palestina dan sekitarnya. Email: khalidmusholla@gmail.com

Minggu, 16 Februari 2025

Strategi AS dan Perang Gaza

Strategi AS dan Perang Gaza

Oleh: Alhawas Taqia


Pendahuluan


Perang Israel di Gaza telah menyebabkan guncangan baru dalam sistem internasional, dan mengungkapkan Ketidakmampuan Amerika Serikat untuk memaksakan apa yang diinginkannya dan mencegah apa yang tidak diinginkannya pada tingkat Politik internasional. 


Perang ini mengalihkan perhatian pimpinan Amerika dari perang Rusia di Ukraina, yang pada gilirannya mengalihkan perhatiannya dari tujuan strategis utamanya menahan kebangkitan Cina. Sementara itu, kekacauan ini mendorong beberapa kekuatan internasional atau Kekuatan besar atau kekuatan yang sedang naik daun untuk bersaing dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk merebut orbitnya berkenaan dengan kepemimpinannya dalam sistem internasional dan desakan atas partisipasinya atau menggantikan posisinya.


Kelemahan Amerika terlihat dalam tiga lingkaran yang membentuk strategi utama Amerika.  Ini adalah lingkaran kawasan Timur Tengah, yang menjadi penting dari cadangan energinya dan jalur laut dan daratnya. Lingkaran Eropa, yang menjadi penting dari kedekatannya kekuatan besar yaitu Rusia, yang merupakan ancaman bagi kepemimpinan Amerika. Dan lingkaran Asia Tenggara, yang menjadi penting dari kebangkitan regionalnya dan kehadiran Tiongkok, negara adikuasa yang menantang Amerika Serikat untuk meraih kepemimpinan global.


Kegagalan Permanen Israel


Perang Israel terhadap  Gaza terletak di jantung Timur Tengah. Strategi AS sebelum “Tofan Al-Aqsa” adalah bergerak menuju mitigasi (upaya mengurangi dampak buruk) berbagai permasalahan di kawasan ini dan berfokus pada Samudra Hindia dan Pasifik, untuk membendung meningkatnya kekuatan Cina. Karenanya, dia merumuskan rencana yang menetapkan Israel sebagai wakil untuk menangani keamanan Timur Tengah dalam menghadapi Iran melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab melalui "Perjanjian Abraham". Dalam konteks ini, normalisasi dipasarkan sebagai sebuah kerangka kerja untuk menangkal ancaman Iran dan sebagai mekanisme untuk mendorong Israel memberikan kepada Palestina hak-hak mereka.


Rencana ini telah berjalan jauh sebelum Tofan al Aqsa, dimana Israel telah melancarkan perang menyeluruh dan kebuasan yang melibatkan segala jenis kebrutalan termasuk Genosida yang mana Mahkamah Internasional didirikan untuk menyelidikinya. Di tingkat politik, pemerintahan Netanyahu mengumumkan penolakannya terhadap pembentukan negara Palestina, dan resolusi Knesset menerbitkan undang-undang mengenai masalah ini yang disetujui oleh semua anggotanya. Benjamin Netanyahu membanggakan "prestasi" ini dan bahwa ia telah berhasil selama hampir dua puluh tahun pemerintahannya dalam menggagalkan pembentukan negara Palestina, dan ia berjanji untuk melanjutkan kebijakan ini hingga akhir pemerintahannya. Dengan demikian, hilanglah justifikasi bagi normalisasi, dan negara-negara Arab terjerumus ke dalam rasa malu, dan negara-negara yang menginginkan pembenaran atas normalisasi, sehingga negara-negara yang menginginkan normalisasi tidak lagi memiliki pembenaran untuk menerimanya di masa mendatang.


Sebaliknya, Amerika Serikat berusaha mengarahkan ulang kebijakan Israel dan kembali menerapkan strategi aslinya. Maka didesaklah Tel Aviv untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza guna meringankan dampak bencana kemanusiaan, yang merusak reputasi Israel dan membayangi Washington sebagai mitra dalam perang. Namun pemerintahan Netanyahu menolaknya dan menggunakan senjata kelaparan untuk menekan perlawanan, sambil terus menolak solusi dua negara dengan anggapan itu mengancam keamanan Israel. Di antara seruan Washington dan penolakan Tel Aviv, pemerintah AS tampaknya tidak berdaya untuk memaksakan kehendaknya kepada sekutu dekatnya, Israel.


Penolakan Israel ini menempatkan Washington dalam dilema strategis dan merusak rencananya untuk mendorong proses normalisasi agar melibatkan negara Arab lainnya, agar memperkuat posisi regional Tel Aviv. Entah tetap terlibat aktif dalam urusan kawasan untuk melindungi sekutunya dan mencegah negara-negara yang menentang kebijakannya, seperti Iran, dari melakukan ekspansi pengaruhnya, sehingga melemahkan kemampuannya untuk membendung Tiongkok. Atau memilih untuk beralih ke Asia Tenggara, yang akan meningkatkan kerusuhan di Timur Tengah dan mempengaruhi pasar energi dan lalu lintas pelayaran. Akibatnya, getaran mungkin terjadi di beberapa negara yang rapuh, mendorong beberapa di antaranya runtuh. Dalam kedua kasus tersebut, Amerika Serikat akan kehilangan kredibilitasnya dan kemampuannya untuk terus memimpin sistem internasional sendirian.


Sedangkan bagi negara-negara Arab yang sedang melakukan normalisasi, kepercayaan mereka terhadap kemampuan Israel untuk melindungi mereka dari bahaya eksternal dan internal akan menurun. Israel, yang selalu menggambarkan dirinya sebagai kekuatan luar biasa di Timur Tengah, telah terbukti tidak mampu mencapai kemenangan yang menentukan melawan faksi-faksi bersenjata yang bertempur dalam jumlah kecil dan dengan senjata sederhana, dan bahwa Israel membutuhkan Amerika Serikat untuk melindunginya dan menyediakan untuknya senjata, amunisi, dan informasi. Negara-negara ini mungkin akan mempertimbangkan kembali penilaian mereka terhadap batasan kekuatan Israel dan sejauh mana kemampuannya untuk menjamin perlindungan kepada mereka sebagai pengganti  Amerika Serikat. Sehingga dengan demikian upaya Washington untuk membangun sistem keamanan Timur Tengah yang dipimpin oleh Israel mengalami kegagalan dan berguguranlah negara-negara Arab dari posisi ketergantungan.


Tekanan di front Eropa


Di tingkat Eropa, perang Israel di Gaza berkontribusi dalam mencegah Amerika Serikat mengalahkan Rusia dalam invasinya ke Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui bahwa perang Gaza mengalihkan opini publik dunia pada umumnya dan opini publik Barat pada khususnya dari situasi di Ukraina. Momentum emosional yang dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan bagi pertahanan negaranya menurun, dan tingkat minat publik di negara-negara Barat yang berupaya membantunya pun menurun. Sebelumnya, Ukraina menggunakan momentum itu untuk menekan pemerintah Eropa yang enggan membantunya, seperti Hongaria.


Di sisi lain, momentum ini menjadi kendala bagi pemerintah yang bersimpati terhadap ٌRusia, yang sebelumnya merasa malu untuk memberikan dukungan mereka terhadap Putin, yang tampil dengan citra agresor terhadap negara merdeka, dimana isolasi terhadap Rusia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, setelah perhatian beralih ke perang Israel di Gaza dan dukungan tak terbatas dari Barat yang diterimanya, citra Putin yang menentang perang Gaza, berubah menjadi pembela rakyat tertindas yang dijajah berkepanjangan di bawah dukungan penuh Barat. Perang Gaza juga meningkatkan tekanan pada sumber daya militer dan keuangan Barat, yang sebelumnya tidak mampu memberikan dukungan yang diperlukan kepada pasukan Ukraina. Pada bulan Oktober 2023, misalnya, General Dynamics mengumumkan telah menjadi produsen  20.000 peluru artileri setiap bulannya, dimana sebelumnya hanya memproduksi 14.000 setiap bulan.  Perusahaan raksasa Amerika ini bermaksud meningkatkan produksinya hingga 100.000 peluru per bulan. Tidak diragukan lagi bahwa perang Gaza akan mendorongnya untuk meningkatkan produksinya dengan lebih cepat.


Penurunan signifikan dukungan Barat untuk Ukraina menyebabkan kegagalan “serangan balik”nya terhadap pasukan Rusia, dan membuka jalan bagi Rusia untuk memulihkan keseimbangannya dalam industri militer, memobilisasi pasukan tempur tambahan, dan meluncurkan serangan baru pada akhir tahun 2023, mempenetrasi tiga kota strategis: Bakhmut, Avdiivka, dan Kupyansk.


Hambatan bagi koridor ekonomi antara India, Timur Tengah dan Eropa 


Adapun lingkaran Asia Selatan, di mana Cina berada di pusatnya; Perang Gaza telah memberikan pukulan yang sangat dahsyat terhadap proyek koridor ekonomi India-Timur Tengah-Eropa, yang dikenal sebagai “Koridor.” Amerika Serikat, yang mensponsori proyek ini, berupaya mencapai dua tujuan melalui proyek ini: Pertama: menggagalkan proyek Sabuk dan Jalan Tiongkok, yang digunakan Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya ke berbagai arah, dan menghubungkan sejumlah besar negara di dunia dengan ekonominya atas dasar “saling menguntungkan”. Kedua: Mengintegrasikan Israel ke dalam perekonomian kawasan dan mendorong normalisasi agar mencakup lebih banyak negara.


Proyek Koridor diharapkan dimulai di India dan melewati Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yordania, dan Israel, lalu ke pelabuhan Yunani, sebelum berakhir di negara-negara Eropa lainnya. Negara-negara ini akan dihubungkan oleh infrastruktur yang terdiri dari jaringan kereta api, serat optik, dan jaringan pipa hidrogen bersih. Anggaran sebesar $20 miliar telah dialokasikan untuk membangun koridor ini, yang diharapkan dapat memangkas waktu tempuh dari India ke Eropa sekitar 40% dan biayanya sekitar 30%. Tampaknya UEA memberikan kontribusi finansial yang luar biasa bagi keberhasilan proyek ini, karena Presiden Biden mengucapkan terima kasih kepada presidennya, Mohammed bin Zayed, ketika ia menyapanya, dengan mengatakan: “Proyek ini tidak akan terwujud tanpa usaha Anda.”


Jelas dari peta proyek ini bahwa Israel adalah mata rantai utama; Di satu sisi, dia akan terhubung dengan perekonomian negara-negara Teluk, yang telah menantikannya sejak proyek Shimon Peres Timur Tengah Baru. Dengan demikian hal ini akan menjadinya sebagai entitas alami bagi kelangsungan hidupnya di kawasan Arab, dan bahkan menjadi salah satu kawasan terkaya di dalamnya. Di sisi lain, Israel adalah penghubung antara dua lokomotif ekonomi besar: Asia Tenggara dan Eropa. Dengan demikian, ia memberi keuntungan bagi ekonomi-ekonomi Arab yang kaya, ekonomi-ekonomi Asia yang sedang berkembang, dan ekonomi-ekonomi Eropa yang maju. Selain keuntungan-keuntungan ini, Israel akan menjadi bagian dari strategi Amerika untuk menggagalkan strategi Sabuk dan Jalan Tiongkok, yang diandalkan Beijing untuk melepaskan diri dari cengkeraman Amerika Serikat dan menciptakan jaringan negara-negara yang tunduk pada pengaruhnya yang semakin besar.


Perang Gaza mungkin akan menggagalkan semua rencana ini, karena Israel berada di ambang menjadi negara nakal. Negara ini menghadapi tuntutan hukum di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida, serta sejumlah kasus lain atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Mahkamah Kriminal Internasional. Kepemimpinan Israel telah menyatakan penolakannya terhadap solusi dua negara yang disepakati secara internasional, dan telah berjanji untuk menduduki kembali Gaza dan memperluas aktivitas permukiman di Tepi Barat. Jika berhasil melaksanakan apa yang dikatakannya, kemungkinan besar negara dia akan berubah menjadi negara apartheid, mirip dengan Afrika Selatan di bawah kekuasaan minoritas kulit putih.


Kalau keadaannya seperti ini, proyek koridor ekonomi itu akan kolaps, karena negara-negara lain tidak akan berminat bermitra dengan Israel dan menjalin hubungan dengannya lewat proyek ini, dan keterasingannya akan makin bertambah kalau Mahkamah Internasional memutuskan Israel melakukan genosida, dan dengan begitu Amerika akan gagal dua kali. Yang pertama: mendedikasikan Israel sebagai link utama dan kekuatan hegemonik di Timur Tengah, dia akan tetap menjadi entitas yang tersingkirkan. Yang kedua: membentuk alternatif yang menyaingi atau menggagalkan proyek strategis Tiongkok: Sabuk dan Jalan.


Pertalian Negara-negara Ambisius


Perang Gaza tidak hanya melemahkan posisi Amerika Serikat di tiga lingkaran strategis, tetapi mungkin juga telah mendorong kekuatan utama yang menentangnya di lingkaran tersebut untuk bersatu lebih erat. Pada bulan Maret 2024, Tiongkok, Rusia, dan Iran melakukan latihan angkatan laut di Teluk Oman dengan slogan “Sabuk Keamanan Maritim”. Ketiganya mengumumkan bahwa manuver yang berlangsung di kawasan strategis di tengah-tengah apa yang dikenal sebagai segitiga “Selat Emas”: Hormuz, Bab al-Mandab, dan Malaka, bertujuan untuk menciptakan 16 tim keamanan masa depan dari ketiga negara tersebut. Iran sebelumnya telah mengintensifkan dukungan militernya kepada Rusia dengan mensuplai drone dalam perang terhadap Ukraina. Kedua negara tersebut menjalin kerjasama militer yang mencakup persenjataan, pelatihan, dan manufaktur bersama.


Hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Rusia terus bertambah baik, tercermin dalam suara bulat di Dewan Keamanan pada bulan Maret 2024 untuk menolak rancangan resolusi Amerika yang menyerukan gencatan senjata sementara di Gaza, dikarenakan rancangan tersebut tidak secara eksplisit menyerukan gencatan senjata permanen. Itu merupakan kedok diplomatik bagi kelanjutan perang Israel di Jalur Gaza. 


Di sisi lain, perang di Gaza telah menyoroti kutub yang memberontak terhadap AS, dipimpin oleh Afrika Selatan, yang menggugat Israel di Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. Presiden Brazil Lula da Silva melancarkan serangan keras terhadap Israel, dan Nikaragua mulai menggugat Jerman di hadapan Mahkamah Internasional atas dukungannya terhadap kejahatan Israel. Kekuatan-kekuatan ini bersatu untuk menentang hegemoni Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan bersaing untuk mewakili apa yang disebut “Global Selatan.” Dan menemukan di Gaza, kasus yang tepat untuk mengutuk Barat dan menghasutnya dan melawannya kebijakannya, dan membongkar standar gandanya.


Kesimpulan


Amerika Serikat akan keluar dari perang Gaza menderita kegagalan  di lebih dari satu tingkatan. Tujuan-tujuannya secara bertahap mengalami kegagalan di Timur Tengah.  Perang Ukraina telah mengalihkan perhatiannya dari upaya membendung China, lalu perang Gaza pecah dan mengalihkan perhatiannya dari perang Ukraina. Tidak jelas bagaimana ia dapat mengendalikan dua gempa  “kecil” ini untuk kembali ke pertempuran utama dengan Tiongkok. Kemungkinan besar, ia akan tetap sibuk dengan dua lingkaran strategis: Eropa dan Timur Tengah, untuk waktu yang lama. Sementara itu, Tiongkok akan terus bangkit, menjalin jaringan pengaruhnya, dan bersaing dengan Amerika Serikat untuk memimpin sistem internasional. Tiongkok juga akan diikuti oleh semakin banyak negara yang menentang hegemoni Barat dan menjadi bagian dari “Global Selatan”.(KHO)
Share: