Youtube Channel

About

Selamat datang di Blog Analis Palestina yang mengkhususkan diri pada opini, penerjemahan informasi dan analisa terkini terkait perkembangan yang terjadi di Palestina dan sekitarnya. Email: khalidmusholla@gmail.com

Rabu, 19 Februari 2025

Perang di Gaza dan Dampaknya Terhadap Israel

Oleh: Syafiq Syakir, penerjemah: Idham Cholid


Pendahuluan


Peristiwa pada 7 Oktober 2023 mengantarkan ketakutan Israel tentang keamanannya dan masa depan eksistensinya di kawasan ke puncaknya. Ketakutan-ketakutan ini, dengan berbagai perkembangan yang terjadi di dalam dan di sekelilingnya selama beberapa tahun terakhir, telah berubah menjadi “ancaman-ancaman eksistensial” yang telah membingkai wacana dan orientasinya serta mempengaruhi kebijakan dan hubungan luar negerinya. 


Di antara kekhawatiran yang paling menonjol yang terungkap dan diperkuat oleh Operasi “Tofan Al Aqsa” adalah kemampuan infrastruktur militer, industri, intelijen, dan operasional yang kini dimiliki oleh perlawanan Palestina, terutama dengan perkembangan hubungannya dengan Iran, yang merupakan aspek lain dari ancaman strategis ini. 


Pada tingkat internal, Israel tengah menyaksikan perpecahan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang diperburuk oleh perang di Gaza, yang telah menjadi lebih dalam dan lebih luas, baik di tingkat politik maupun agama. Sedangkan di bidang militer, tentara penjajah menderita kerugian besar, gagal mencapai sasaran yang dicanangkannya, dan kekuatan pencegah yang telah dibangunnya selama puluhan tahun runtuh. 


Secara eksternal, narasi Israel menjadi diragukan hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari citra sebagai korban mulai berubah menjadi agresor, terutama setelah kasus yang dibawa oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. Dengan semakin meningkatnya perbedaan antara para pemimpin Israel dan semakin banyak politisi Barat, termasuk di Amerika Serikat, dukungan Barat yang tanpa syarat terhadap Israel dipertanyakan.



Perlawanan Palestina dan ekspansi Iran


Kebijakan Israel, terutama di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, didasarkan pada isolasi Gaza dari Tepi Barat dan memperkuat pemisahan di antara keduanya, sambil berfokus pada Tepi Barat untuk menaklukkannya, mencaplok tanahnya, dan membatalkan solusi dua negara. Kebijakan ini tampaknya lebih sejalan dengan aliran Zionis dan agama sayap kanan, tren yang mendominasi pemerintahan terakhir Netanyahu, yang digambarkan sebagai pemerintahan paling ekstremis dalam sejarah Israel. 


Sejak tahun 2007, Gaza yang terus dikepung telah menyaksikan serangkaian konfrontasi yang berakhir dengan intervensi mediator dan kemudian dengan ketenangan yang berakhir dengan gencatan senjata, sementara Tepi Barat menyaksikan peningkatan penindasan oleh dinas keamanan Israel untuk melenyapkan kelompok perlawanan baru, seperti Batalyon Jenin, ‘Arin-al-usud’ atau Lions’ Den, Batalyon Balata, dan lainnya. Kebijakan ini bertujuan untuk mempertahankan stagnasi situasi di kawasan dan mengganggu segala upaya untuk mencapai perdamaian, dan juga berusaha menjaga situasi Palestina tetap seperti sekarang, terpecah dan lemah.


Setelah mengumumkan apa yang disebut sebagai Kesepakatan Abad Ini, Israel berupaya memperluas jangkauan geografisnya di tanah bersejarah Palestina dengan mengintensifkan pemukiman dan menindas warga Palestina, dan memperluas jangkauan geopolitiknya di kawasan itu dengan menetapkan batas-batas wilayahnya dengan negara-negara tetangga Arabnya, seperti yang terjadi dengan Lebanon terkait batas-batas atau demarkasi laut dan upayanya untuk menetapkan batas-batas wilayah darat juga. Secara paralel, ia berupaya memperluas cakupan normalisasi dengan negara-negara Arab dan memisahkan jalur ini dari proses perdamaian dan masalah Palestina serta hak-haknya.


Pada tataran keamanan regionalnya, Israel menganggap Iran sebagai ancaman utama, karena program nuklirnya yang maju, di samping dukungan militernya terhadap perlawanan Palestina di Gaza. Selain itu, pengaruh Iran telah meluas di kawasan tersebut, mencapai perbatasan utaranya. Pengaruh yang semakin besar ini dilihat oleh Israel sebagai bahaya yang melampaui keamanannya sendiri, dan mengancam keamanan negara-negara tetangga Arabnya, yang memiliki hubungan dengannya untuk menghadapinya melalui “kepentingan bersama.” 


Negara ini telah mengumpulkan wacana keamanan dan politiknya untuk mempromosikan proses normalisasi dalam konteks "Perjanjian Abraham" untuk melayani perspektif ini dan membangunnya dengan mengabaikan Palestina dan segala pengaturan yang terkait dengan masa depan perjuangan Palestina. Namun, Operasi “Tofan Al Aqsa” datang dari luar konteks ini dan bertentangan dengannya, untuk mengembalikan perjuangan Palestina ke posisi sentralnya dan menghidupkan kembali semua berkas yang terkait dengannya, seperti negara, kota Al Quds, pemukiman Yahudi, dan masalah pengungsi.


Oleh karena itu, operasi 7 Oktober, betapapun mengejutkan Israel, dalam beberapa hal merupakan hasil alami dari kebijakan penjajah, terutama mengingat pemerintahan Netanyahu saat ini dan meluasnya sayap kanan dalam masyarakat Israel. Jelas bahwa operasi ini telah menyebabkan kerusakan serius pada strategi pencegahan Israel dan pada kepercayaan warga Israel terhadap lembaga keamanan, militer, dan politik mereka. Kita dapat memahami betapa besarnya kekerasan yang dilakukan Israel dan kegigihannya untuk menimbulkan kerugian dan kehancuran yang sangat besar terhadap warga Palestina dalam perang di Gaza itu adalah sebagai upaya untuk memulihkan kekuatan ini dalam menghadapi “ancaman Palestina” yang semakin meningkat.


Kerusakan yang ditimbulkan oleh kekuatan pencegah Israel di tingkat regional tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh perlawanan Palestina. Kekhawatiran keamanan Israel tentang kemungkinan terulangnya apa yang terjadi dengan perlawanan di Gaza dari perbatasan Lebanon tidak terlintas dalam pikiran. Dari kekosongan, mengingat meningkatnya kemampuan militer yang dimiliki oleh Hizbullah yang didukung Iran. Oleh karena itu, ia berupaya untuk menerapkan Resolusi PBB 1701 secara lebih ketat di Lebanon selatan. Upaya ini dilakukan dalam konteks upaya untuk memulihkan kekuatan pencegahan dalam skala yang lebih luas, sehingga perangnya di Gaza selaras dengan strategi regionalnya dalam menghadapi pengaruh Iran.



Perpecahan Sosial dan Beban Ekonomi yang Tinggi


Masyarakat Israel tengah menyaksikan perpecahan tajam identitas Israel dan definisi tentang dirinya sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pernyataan yang dikeluarkan oleh para pemimpin Israel mengenai memburuknya bahaya internal telah meningkat, mencapai titik peringatan akan bahaya “perang saudara” karena kurangnya keharmonisan antara komponen-komponen masyarakat ini di satu sisi, dan meningkatnya pengaruh kelompok kanan keagamaan dan gerakan Zionis ekstremis di bidang politik di sisi lain. Selain itu, terdapat perselisihan yang berkembang mengenai dualitas Yahudi dan sekularisme serta dampaknya terhadap gaya hidup dan hubungan antara komponen-komponen masyarakat.

 

Perpecahan ini tercermin pada penyusunan komposisi kekuatan politik, dan krisis pemerintah Israel mencapai puncaknya pada tahun 2019. Israel menyaksikan lima putaran pemilihan umum dalam waktu singkat, setelah tidak ada satu pun partai atau blok yang bersaing gagal selama empat putaran pertama untuk memperoleh 61 kursi di Knesset yang akan memungkinkan mereka membentuk pemerintahan, bahkan dengan mayoritas tipis. Setelah pemilu April 2019, September 2019, Maret 2020, dan Maret 2021, pemilu terakhir diadakan pada November 2022 yang membawa kenaikan Netanyahu dan pemerintahan sayap kanannya. Pemerintahan ini telah menyebabkan salah satu konfrontasi dalam negeri terbesar dalam sejarah Israel sebelum Tofan Al-Aqsa, yang fokusnya adalah masalah amandemen peradilan yang dirancang untuk "melayani kelompok ekstrem kanan" dan melindungi Netanyahu dari tuntutan atas tuduhan korupsi. Hal ini masih berlangsung hingga kini, dan hal ini tercermin dalam sikap masyarakat Israel terhadap perang di Gaza, serta tujuan dan prioritasnya.


Perang ini juga membayangi perekonomian Israel, yang menderita kesulitan dan tekanan keuangan yang semakin meningkat karena pengeluaran langsung dan tidak langsung yang membebani kas negara dikarenakan aliran pengungsi Israel dari daerah-daerah yang terdampak perang. Wilayah utara di perbatasan Lebanon dan wilayah selatan di perbatasan Gaza dievakuasi ke daerah lain yang lebih aman. Sejumlah kegiatan pertanian dihentikan karena beberapa lahan berada di wilayah ketegangan. Banyak proyek komersial dan infrastruktur terganggu karena penarikan pekerja Palestina, selain pemanggilan puluhan ribu tentara cadangan untuk bergabung ke medan perang dan mengeluarkan mereka dari siklus produksi.


Ironisnya, sumbangan kelompok sayap kanan terhadap ekonomi Israel lebih sedikit dibandingkan kelompok lain. Sedangkan wacana yang mereka miliki didasarkan pada hasutan untuk melanjutkan perang dan meningkatkan biayanya. Aliran ini tidak memberikan perhatian dalam sikap yang diambilnya jika dampak negatif pada ekonomi Israel, bahkan kepada situasi dan hubungannya dengan dunia luar, sehingga menjadikan tempat yang tidak menarik untuk investasi, dan jadi kurang mendorong migrasi Yahudi ke sana. Patut dicatat pula bahwa penganut Haredi (Yahudi ultra-ortodoks) menolak wajib militer dan bersikeras tidak ikut dinas militer meskipun tentara membutuhkan mereka, sebagaimana dikatakan oleh pemimpin oposisi Yair Lapid. Kepala Rabbi Israel, Yitzhak Yosef, mengancam akan menyuruh "semua" dari mereka meninggalkan Israel jika mereka dipaksa mendaftar. Jumlah mereka pada tahun 2023 mencapai sekitar 66 ribu calon prajurit militer.


Hal terpenting yang ditunjukkan oleh perpecahan ini dan biaya politik serta ekonomi yang ditimbulkannya adalah bahwa Israel akan tetap jauh dari stabilitas politik dan pemerintahan pada  periode mendatang. Karena perang di Gaza, apapun hasilnya, dan meskipun digambarkan sebagai perang eksistensial, tidak mampu menyatukan masyarakat Israel, tetapi malah menambah pembenaran baru bagi perpecahan Israel. Semua jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas orang Israel bercita-cita untuk menyingkirkan pemerintahan sayap kanan dan lebih memilih pemerintahan yang lebih moderat. Perlu dicatat bahwa ada ketakutan Barat yang berkembang bahwa masyarakat Israel tengah bergeser ke arah ekstremisme sayap kanan, yang memperdalam perpecahan antara komponen-komponennya dan memperburuk ketidakmampuan Israel dalam meraih keamanannya sendiri untuk melanjutkan jalur normalisasi.


Hubungan Israel dengan Barat dan citranya di mata opini publik Perang di Gaza dan genosida serta kelaparan warga Palestina di tangan pemerintah sayap kanan ekstrim telah menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan hubungan antara Barat dan Israel. Pandangan yang berlaku di Barat, bahwa Israel adalah satu-satunya demokrasi di kawasan tersebut dan negara yang mewakili perpanjangan peradaban Barat dan nilai-nilainya, mulai menjadi sasaran kritik dan peninjauan. Meskipun narasi Israel mendominasi secara luar biasa di koridor kekuasaan, pemikiran, dan pengaruh di Barat, Gaza telah mendapatkan simpati Barat di kalangan generasi muda. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa menyaksikan demonstrasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mendukung Palestina dan narasi mereka serta menentang perang. Lingkaran protes juga meluas hingga mencakup politisi dan anggota parlemen Barat, dan komunitas seni pun tidak kebal terhadap tren ini. Gugatan hukum yang diajukan Afrika Selatan di hadapan Mahkamah Internasional terhadap Israel atas tuduhan genosida menambah momentum bagi keterlibatan para profesional hukum, aktivis hak asasi manusia, dan banyak profesional media serta influencer media sosial.


Secara politis, jajak pendapat Amerika mencerminkan adanya peningkatan simpati terhadap Gaza, terutama secara politis, di kalangan pemuda. Apa yang membuat pemerintahan Presiden Biden khawatir tentang kemungkinan kalah dalam pemilu November 2024, karena dukungannya yang  tanpa syaratnya terhadap Israel, meskipun kejahatan dan praktik hukum rimba yang dilakukan Israel. Narasi tradisional yang memperlakukan Israel sebagai korban tidak lagi dominan. Narasi Palestina telah mulai menyingkirkannya, mengalahkannya, dan mendorong sejumlah kekuatan Barat untuk meninjau kembali dukungan mereka yang tidak terbatas terhadap Israel.


Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan yang bersifat politis, moral dan strategis di Israel maupun di Barat tentang apakah penjajah Israel telah menjadi beban bagi Barat, terutama setelah perang di Gaza menyingkap kebrutalan yang tak tertandingi dan penginjakan semua nilai dan standar hukum dan kemanusiaan. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan Israel untuk menjaga keamanannya sendiri dan berperang di masa mendatang tanpa bergantung pada Barat. Seolah-olah negara yang digunakan untuk melindungi kepentingan Barat dan mendominasi negara-negara tetangganya, telah menjadi sangat membutuhkan perlindungan permanen, terutama pada saat Washington sedang berusaha mengurangi kehadiran militernya di Timur Tengah dan mengurangi keterlibatan langsungnya dalam perang dan krisis di Timur Tengah. Perlu dicatat bahwa pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump mengandalkan Israel, dan khususnya Netanyahu, untuk menjadi agen utamanya di kawasan tersebut. Dalam konteks itulah muncul Kesepakatan Abad Ini, tetapi Operasi Tofan Al-Aqsa mengungkap rapuhnya kekuatan Israel dan menegaskan bahwa negara Israel tidak dapat terus menjalankan fungsinya tanpa kehadiran dan dukungan langsung dari Washington.



Kesimpulan


Ketakutan "eksistensial" Israel bukan dimulai dengan Operasi Tofan Al-Aqsa, tapi sudah sejak bertahun-tahun sebelumnya dimana yang menjadi salah satu penyebabnya adalah meluasnya pengaruh kaum religius sayap kanan dan Zionis, dengan dua aspeknya, konservatif dan ekstremis, di dalam masyarakat Israel hingga mencapai puncak politiknya dengan pemerintahan Netanyahu saat ini. Hal ini juga menjadi katalisator yang mengobarkan ambisi Israel untuk memperkuat entitas negara dan memperluas cakupannya, baik secara geografis maupun demografis. Hal ini tampak jelas dari meluasnya pemukiman di Tepi Barat dan kota Al Quds, percepatan Yahudisasi Masjid Al-Aqsa dengan membaginya secara spasial dan temporal, serta terhentinya perundingan dengan Palestina untuk mengakhiri proses perdamaian dan solusi dua membuang solusi dua negara dari peredaran.


Sama saja apakah Israel mencapai tujuannya dari perang di Gaza atau gagal, tampaknya negara itu sedang menuju ke arah yang lebih ekstrim, bahkan dengan standar sekutunya Barat sekalipun. Ekstremisme menyusup ke masyarakat Israel dalam semua kategorinya, didorong oleh gerakan keagamaan di satu sisi dan masalah keamanan di sisi lain. Jika normalisasi mendapatkan kembali momentum setelah perang, ia akan menggantikan proses perdamaian. Kesepakatan ini mampu memperkuat Kesepakatan Abad Ini dan secara efektif membendung ambisi ekspansionis Israel. Sementara itu, normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab akan memberikan Israel apa yang dapat ditawarkan oleh proses perdamaian tanpa harus memberikan imbalan apapun kepada Palestina.


Bagaimanapun juga, Operasi Tofan Al-Aqsa akan menimbulkan dampak strategis yang luas terhadap negara Israel, persatuan masyarakatnya, dan proyek Zionis serta masa depannya di Timur Tengah. Pertanyaan tentang “keberadaan” dan penegakannya kembali di atas prinsip-prinsip yang baru akan terus menghantui politisi, militer, dan warga Israel. Kekhawatiran mereka terhadap keamanan terkait berkembangnya kemampuan perlawanan di dalam negeri dan perluasan pengaruh “musuh strategis” mereka di luar negeri tidak akan hilang. Keretakan dalam hubungan Israel dengan Barat membutuhkan waktu untuk disembuhkan. Mengenai kemunduran narasi Israel dan pergeseran opini publik global yang mendukung narasi Palestina, tampaknya ini adalah dinamika yang tidak dapat dibalikkan, setidaknya dalam waktu dekat.(KHO)


Share: