Proyek "Fabric of Life": Bagian dari Rencana Israel Caplok Tepi Barat
Oleh: Dr. Abdullah Marouf
Pusat Informasi Palestina - Senin, 7 April 2025, pukul 09.20
Sumber foto: Peace Now Org
Keputusan pemerintah Netanyahu untuk menyetujui dimulainya apa yang disebut "jalan fabric of life" di kota Al Quds Timur adalah puncak upaya Israel untuk melaksanakan operasi aneksasi terbesar dalam sejarah konflik sejak 1967, terhadap tanah wilayah yang berada di luar batas kotamadya Al Quds dari arah timur. Tepatnya pemukiman Ma'ale Adumim jadi lebih besar, dan mengubah batas-batas kotamadya Al Quds Israel dengan menambahkan 3% wilayah Tepi Barat, sehingga secara resmi menganeksasinya ke Israel.
Gagasan proyek ini adalah berupa menggali terowongan yang membentang dari utara ke selatan di Al Quds Timur, dan mengubahnya menjadi jalan yang hanya diperuntukkan bagi warga Palestina, sehingga warga Palestina dilarang keras menggunakan jalan raya no-1, yang membentang dari pusat kota Al Quds dan melintasi desa-desa warga Arab di kota tersebut, lalu melewati depan pintu masuk permukiman Ma'ale Adumim dalam perjalanannya menuju Yerikho. Dulu warga Palestina terpaksa menggunakan sebagian jalan yang diperuntukkan bagi para pemukim Yahudi untuk bepergian antara utara dan selatan Tepi Barat, di mana mereka memasuki Jalan Raya no-1 di dekat daerah Anata (utara Al Quds), dan dengan cepat keluar dari daerah selatan setelah melewati dekat pemukiman Ma'ale Adumim untuk memasuki jalan Ramallah-Bethlehem, yang dikenal sebagai (Jalan Wadi al-Nar).
Israel sekarang ingin menggali terowongan bawah tanah yang akan menghubungkan daerah Za'ayim di timur laut Al Quds dengan ujung selatan desa al-Eizariya, yang dipisahkan dari Kota Tua Al Quds hanya oleh Bukit Zaitun.
Proyek ini bukanlah hal baru, meskipun baru menjadi berita utama beberapa hari yang lalu. RUU ini pertama kali diusulkan dan disetujui pada musim semi tahun 2020 saat pemerintahan koalisi Netanyahu, tetapi implementasinya terhenti karena berbagai rintangan yang dihadapi oleh pemerintahan Israel secara berturut-turut. Pemerintahan itu jatuh hanya dua bulan setelah proyek disetujui, dan kemudian pemerintahan baru yang dipimpin oleh Netanyahu terbentuk dan berjalan tidak lebih dari sebulan, yang kemudian jatuh pada pertengahan tahun 2020. Sebagai gantinya, dibentuklah pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Naftali Bennett, bekerja sama dengan Yair Lapid, dan kemudian tumbang pada akhir tahun 2022. Netanyahu kemudian kembali ke pemerintahannya saat ini, yang dibentuknya bekerja sama dengan gerakan Zionisme Religius, yang oleh banyak analis dan pengamat dianggap sebagai penguasa de facto saat ini. Pemerintah ini telah disibukkan selama lebih dari satu setengah tahun dengan perang yang saat ini berkecamuk di Jalur Gaza, dan di beberapa wilayah lain, seperti yang kita ketahui.
Secara aplikatif, proyek ini merupakan proyek yang sangat strategis, karena berasal dari visi mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon untuk memperluas wilayah administrasi Al Quds ke arah timur dengan mencaplok tanah Tepi Barat.
Sharon yakin bahwa tidak ada solusi untuk masalah Al Quds selain menguasai lebih banyak tanah di sebelah timur kota dan mencaploknya. Yahudi di seluruh wilayah sekitar Al Quds — khususnya wilayah Timur — dalam rangka melestarikan identitas Yahudi kota suci itu, sebagaimana dalam persepsi negara penjajah, dan untuk mengisolasi wilayah tempat tinggal warga Palestina di Al Quds Timur, memisahkan mereka dari lingkungan sosial alami mereka di Tepi Barat.
Tujuan akhir di sini adalah untuk menciptakan apa yang disebut "Al Quds Raya," yang akan membantu membagi Tepi Barat menjadi dua bagian: bagian utara dan selatan, yang tidak dapat dihubungkan secara geografis dengan cara apa pun yang dapat menawarkan harapan bagi berdirinya negara Palestina di masa depan di sana.
Titik-titik ini merupakan titik awal gagasan dasar yang disampaikan Sharon dalam proyek lamanya untuk Al Quds Raya. Meskipun Israel telah mengumumkan pada lebih dari satu kesempatan - mungkin yang terakhir adalah pada tahun 2007 - proyek-proyek yang semuanya termasuk dalam gagasan Al Quds Raya, seperti proyek “Al Quds Pertama” dan lainnya. Pada kenyataannya, Israel belum mengambil langkah-langkah yang sangat terang-terangan untuk mencapai visi yang dicanangkan ini. Alasan utamanya adalah tidak adanya pengakuan internasional terhadap Al Quds sebagai ibu kota negara penjajah, selain kompleksitas situs-situs suci yang ditakutkan Israel akan menjadi faktor yang dapat meledakkan situasi di kawasan itu secara keseluruhan.
Oleh karena itu, ia mengambil langkah-langkah yang sangat hati-hati dan bertahap, mencoba menerapkan visi ini secara bertahap tanpa terlalu banyak mengungkap apa yang sedang dijalankannya.
Jadi, apa yang membuat Israel memutuskan untuk melanjutkan proyek ini pada saat ini?
Yang baru di lapangan, tentu saja, bahwa gerakan Zionis Religius yang mengendalikan pemerintahan di Israel. Netanyahu tidak dapat mengalah satu langkah pun dari keinginan dan perintah pemimpinnya, Smotrich, terutama setelah yang terakhir menyelamatkan pemerintahannya dari kehancuran selama negosiasi gencatan senjata di Gaza, yang kemudian menyebabkan Itamar Ben-Gvir mengundurkan diri dari pemerintahan.
Persamaan tersebut merupakan keberhasilan bagi kedua pihak hari itu, karena Netanyahu menyelamatkan dirinya dari pengasingan dan kemudian pemenjaraan, sementara Smotrich menyelamatkan partainya dari jatuh ke pemilihan awal di mana jajak pendapat tidak menunjukkan prospek bahkan untuk masuk Knesset. Namun, pemulihan partai Smotrich dalam jajak pendapat berikutnya memberinya dorongan untuk terus memeras Netanyahu yang kini menjadi sangat membutuhkannya daripada sebelumnya.
Smotrich hanya peduli dengan pelaksanaan rencananya untuk mencaplok Tepi Barat ke Israel. Inilah proyek yang dijanjikannya kepada para pendukung partainya. Saat ia perlahan-lahan menjauhkan diri dari Ben-Gvir menyusul perselisihan yang makin meningkat di antara keduanya, Smotrich jadi harus berupaya memasuki kota Al Quds, yang dianggap Ben-Gvir sebagai medan bermainnya sendiri, yang ia persembahkan kepada kelompok kanan ekstrimis.
Oleh karena itu, Smotrich berupaya untuk mulai bekerja pada proyek ini dan mendanainya dari dana kliring yang disita Israel dari Otoritas Palestina, atas perintah langsungnya. Yakni, hari ini ia mempersembahkan kepada dirinya sendiri, kepada partainya dan kepada gerakannya sebuah prestasi yang tidak memerlukan biaya apa pun; Karena didanai oleh uang pajak yang dibayarkan oleh Palestina sendiri, dan dalih atas tindakan yang diambilnya bahwa jalan/terowongan yang akan dimulai itu pada asalnya ditujukan untuk rakyat Palestina.
Tampaknya Ben-Gvir telah memahami permainan yang dimainkan Smotrich, dan bahwa ia kini memasuki ruang dan medan bermainnya sendiri di Al Quds. Dia menampilkan dirinya sebagai alternatif baginya di hadapan para pemukim kota Al Quds. Oleh karena itu, ia menggunakan taktik yang biasa ia lakukan dan mengundang perhatian dunia, yakni menyerbu Masjid Al-Aqsa dan mempermainkan deretan tempat suci dalam persaingannya dengan kawan lamanya, Smotrich. Dengan berbuat demikian, dia mengatakan bahwa dialah satu-satunya harapan bagi para pemukim Yahudi. Bukan hanya dalam kasus Al Quds, tetapi juga dalam kasus paling penting terkait Al Quds , yakni berkas tempat-tempat suci, yang terus dijauhi Smotrich, sesuai dengan fatwa Kepala Rabbi yang melarang orang Yahudi memasuki Masjid Al-Aqsa hingga terpenuhinya syarat terpenuhinya kesucian yang dikaitkan dengan sapi betina merah yang dijanjikan.
Pertanyaan yang muncul di sini adalah: Mengingat Smotrich mempromosikan rencana untuk mencaplok Tepi Barat dan memindahkan penduduknya ke Yordania, mengapa dia repot-repot mendukung proyek terowongan untuk warga Palestina yang akan memfasilitasi pergerakan mereka antara Tepi Barat utara dan selatan?
Jawabannya adalah bahwa kita sedang menghadapi proses yang rumit di mana Israel secara umum, dan Smotrich beserta fraksinya secara khusus, telah mencapai beberapa poin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang:
Dalam jangka pendek, proyek ini mencapai pemisahan rasial secara sempurna antara warga Palestina dan pemukim di wilayah Tepi Barat sekitar Al Quds. Terowongan yang direncanakan akan memaksa warga Palestina untuk mengambil satu rute bawah tanah antara Ramallah di Tepi Barat utara dan Betlehem di Tepi Barat selatan. Akibatnya, jaringan jalan besar yang menghubungkan semua pemukiman di Al Quds Timur akan menjadi satu kesatuan, khusus untuk para pemukim, tidak boleh dilintasi oleh rakyat Palestina.
Dengan demikian, Smotrich dapat menampilkan dirinya kepada lebih dari 38.000 pemukim di Ma'ale Adumim sebagai penyelamat dari percampuran dengan warga Palestina, dan sebagai pemimpin yang telah mencapai keamanan yang mereka inginkan tanpa membebani anggaran negara atau membebani mereka sedikitpun.
Lagipula, dalam jangka panjang, proyek ini sebenarnya tidak berkontribusi dalam menghubungkan warga Palestina di Tepi Barat. Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan merampas kebebasan bergerak warga Palestina antara wilayah utara dan selatan Tepi Barat, dan membatasinya pada satu jalur sempit—terowongan ini—maka mudah bagi Israel untuk memutus jalan antara dua bagian Tepi Barat sesuka hatinya, hanya dengan satu pos pemeriksaan militer yang dijaga oleh tidak lebih dari beberapa tentara.
Dengan demikian hal Ini akan memisahkan wilayah utara dan selatan Tepi Barat sepenuhnya. Proyek ini secara efektif berarti bahwa rakyat Palestina tidak akan dapat mendirikan entitas bersebelahan apa pun di Tepi Barat, yang akan memudahkan Israel untuk mengisolasi wilayah Tepi Barat satu per satu jika Israel mengambil keputusan yang lebih berbahaya untuk melakukan operasi pembersihan etnis di wilayah tersebut. Contoh terbesarnya adalah apa yang sedang terjadi di Jalur Gaza, yang terbagi menjadi wilayah utara dan selatan, serta diisolasi dalam upaya mengungsikan seluruh penduduknya.
Aneksasi pemukiman Ma'ale Adumim ke Yerusalem akan diikuti oleh aneksasi wilayah yang disebut E1, yang mengelilingi dea-desa Al-Eizariya dan Abu Dis, yang terletak di sebelah timur Al Quds tetapi di luar tembok pemisah penjajah. Ini berarti menelan sekitar 3% wilayah Tepi Barat, mengepung sepenuhnya desa-desa tersebut dan mengisolasi mereka dari lingkungan sekitarnya, baik di Tepi Barat maupun Al Quds, hingga menyerupai ghetto. Suka atau tidak, proyek ini bukanlah akhir, melainkan awal dari pelaksanaan aneksasi seluruh Tepi Barat, sedikit demi sedikit, di saat beban terbesarnya yang diwakili oleh Al Qyds, berhasil disingkirkan.
Mengingat semua ini, kami tidak punya pilihan selain mengulang solusi yang paling jelas dan ringkas; Rakyat Palestina tidak boleh menunggu dalam merespon penjajah memulai rencananya, karena siapa pun yang memulai pekerjaan terlebih dahulu berarti dia memotong separuh jalan. (KHO).
Sumber:
https://palinfo.com/news/2025/04/07/946688/